Sebelum memulai tulisan ini, saya sampaikan terlebih dahulu bahwa pendapat atau gagasan di sini berdasarkan sudut pandang ajaran Islam. Dan saya tegaskan pula bahwa tulisan ini pun tidak bersifat ilmiah.
Pada hakikatnya, anak dalam Islam adalah merupakan anugerah yang luar biasa yang patut disyukuri. Karena merupakan anugerah, dengan kata lain anak adalah rejeki (karena tidak semua pasangan suami-isteri dikaruniai seorang anak).Â
Jika anak adalah rejeki, tentu mereka sudah membawa rejekinya masing-masing di sepanjang kehidupannya. Apalagi secara prinsip, Allah menciptakan makhluk, maka Dia pula yang menjamin rejekinya.
Islam tidak melarang pengikutnya untuk memiliki anak yang banyak. Bahkan Rasulullah saw menganjurkan umatnya untuk memiliki anak-keturunan yang banyak. Agar umat ini menjadi besar dan kuat, bisa membangun peradaban Islam, serta adanya generasi yang mampu mengemban amanah dakwah dan memakmurkan bumi.
Sumber gambar: www.poskotanews.com
Keluarga Berencana (KB) versi Pemerintah
Tujuan utama KB adalah agar dapat membentuk keluarga yang terencana terkait kelahiran dan pengasuhan-pendidikan anak. Jika yang dimaksud adalah keluarga yang direncanakan dengan baik, tentu hal ini masih bisa diterima.Â
Akan tetapi, jika kemudian maknanya mengerucut menjadi "pembatasan kelahiran" atau bahkan tidak ingin punya anak lagi, tentu hal ini tidak sesuai dengan prinsip ajaran Islam.
Dalam iklan-iklan (baca: propaganda) KB seringkali digambarkan bahwa yang memiliki anak banyak, keluarganya selalu dalam kondisi konflik, tinggal di lingkungan kumuh, anak-anak yang kurus dan kurang gizi, miskin dan susah, serta gambaran negatif lainnya.Â
Sedangkan peserta KB tinggal di rumah bagus, punya mobil, anak-anak pakaiannya bersih dan rapi, lulus kuliah dan seterusnya. Padahal, kenyataannya tidaklah selalu demikian.
Tidak sedikit keluarga yang memiliki banyak anak yang hidup kaya-raya, anak-anaknya lulus perguruan tinggi dan hidup sukses. Contoh nyata adalah Geng Halilintar.Â