Mohon tunggu...
adhon simbers
adhon simbers Mohon Tunggu... -

tulislah apa yang kamu pikirkan lalu pikirkan apa sudah kamu tuliskan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Urinoir, Agama, dan HAM

25 Maret 2016   02:49 Diperbarui: 25 Maret 2016   03:09 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selalu dikonotasikan kepada peristiwa bombastis., aksi terorisme, pelecehan seksual anak di bawah umur, pelarangan atau pembakaran tempat ibadah hingga sampai membahas mengenai persoalan tentang kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Trasgender (LGBT). Peristiwa semacam ini seakan – akan dianggap sangat baik untuk dijadikan bahan konsumsi publik, apalagi kasus pelanggaran HAM tersebut sudah mengarah ke persoalan Agama maupun suku daerah. Maka bersiap – siaplah, berbagai macam komentar atau opini akan segera membanjiri di setiap dinding berita media sosial. Perang rangkaian kata – kata halus hingga kasar tidak dapat terelakan jika sudah menyinggung persoalan pelanggaran Ham atas Agama maupun Suku.

Padahal jika ingin memaknai secara benar mengenai HAM. HAM bukan hanya sekedar membahas hidup atau mati setiap orang saja, tidak hanya membahas mengenai perlidungan tempat ibadah, dan juga tidak hanya membahas persoalan urusan perut atau mendapatkan sesuap nasi belaka. Tanpa disadari, persoalan pelanggaran HAM seyogianya sering dialami atau terjadi di sekeliling lingkungan dalam kegiatan sehari – hari. Salah satunya seperti yang saya bahas di bawah ini yakni mengenai  betapa rumitnya bagi laki – laki untuk melakukan buang air kecil.

[caption caption="sumber gambar : tekno.kompas.com"][/caption]Urinoir yang membawa masalah

Beberapa hari yang lalu saya dan bersama teman – teman melakukan kegiatan tugas kelompok di salah satu cafe yang terbilang paling hits di daerah Yogyakarta. Mengingat kondisi cuaca tersebut begitu dingin, maka hasrat keinginan saya untuk buang air kecil pun tidak dapat dihindarkan. Tanpa pikir panjang lagi, saya pun bergegas menuju toilet. Namun, setelah sampai disana ketakutan yang sempat terlintas di benak pikiran saya benar – benar terjadi, yaitu saya harus menggunakan urinoir untuk melaksanakan eksekusi privasi saya tersebut. Iya, urinoir atau tempat untuk buang air kecil berdiri yang dikhususkan untuk kaum laki – laki. Saya bukanlah seorang gaptek (gagap teknologi) yang tidak bisa menggunakan alat tersebut. Telah bertahun – tahun saya menggunakan sarana tersebut apalagi di saat bersinggah di tempat umum seperti restoran, mall hingga di bioskop sekalipun.

Hal yang membuat tidak nyaman ialah urinoir yang dipakai saat itu ialah jenis urinoir yang menggunakan sensor inframerah. Jadi tidak seperti jenis urinoir sebelumnya yang dulu dapat menggunakan tombol atau kran yang berfungsi mengeluarkan air sekaligus membersihkan urinoir yang habis dipakai untuk buang air kecil. Namun, tidak bagi urinoir yang menggunakan sensor inframerah, jika pengguna selesai menggunakanny maka dia cukup ditinggal pergi saja karena secara otomatis air di dalam urinoir akan keluar dengan sendirinya dan membersihkan dirinya sendiri. Jadi, pengguna tidak perlu repot – repot untuk menggunakan tombol/kran air lagi. Meskipun ada kemungkina para pengguna tersebut tidak memikirkan bagaimana cara untuk membersihkan alat (maaf) kemaluannya ketika selesai melakukan buang air kecil.

[caption caption="sumber : forum.kompas.com"]

[/caption]Kembali persoalan yang saya alami saat itu, mau tak mau saya berusaha mencari air agar dapat saya gunakan saat selepas buang air kecil. Terbesit di benak saya untuk  mengambil air dengan menggunakan gayung namun sialnya toilet tersebut tidak menyediakan. Lantas saya pun mencoba alternatif lain yaitu menggunakan kloset dikarenakan biasanya di samping alat tersebut disediakan alat semprotan air. Akan tetapi, sangat disayangkan kloset yang saya temukan tidak menyediakan alat tersebut. Selanjutnya, saya mencoba menggunakan cara yang disarankan teman saya yaitu menggerakan badan saya ke samping urinoir setelah buang air kecil. Pada awalnya sempat sulit, namun pada akhirnya bisa juga dan sekaligus air yang keluar tersebut digunakan untuk mensucikan diri.  dan itu pun butuh usaha keras dan sambil melihat situasi kondisi dikarenakan ditakutkan bisa saja diintip oleh orang lain. Meskipun begitu, saya tetap merasa risih dan tidak nyaman atas urinoir yang katanya produk canggih tersebut. Hal ini dikarenakan ada kemungkinan sisa air seni selepas buang air kecil tadi bisa saja menempel kepada pakaian yang dikenakan dan hal tersebut dalam agama saya dinamakan sebagai najis.

Urinoir : Antara Agama Dan Ham

Dalam agama saya yakni Islam, menjaga kebersihan termasuk salah satunya membersihkan najis yang melekat dalam tubuh maupun pakaian yang dikenakan adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan dan dijaga setiap umat muslim. Di samping itu, menjaga kesucian dari najis merupakan syarat sahnya dalam suatu ibadah yaitu shalat. Andaikata najis tersebut masih melekat dalam pakaian kita saat menjalankan ibadah maka ada kemungkinan ibadah yang dilaksanakan akan menjadi tidak sempurna.

Sisa air seni yang melekat di pakaian juga termasuk dalam perkaran najis. Disinilah saya mulai mengkorelasikan nya mengenai perkara urinoir yang menggunakan sensor inframerah tersebut. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, begitu kompleksnya penggunaan dari jenis urinoir seperti itu. Saya mempunyai keyakinan besar bahwa setiap orang selepas menggunakan alat tersebut maka dia tidak akan berusaha mencari cara bagaimana membersihkan kemaluannya. Alhasil, dia harus mempasrahkan celana nya terkena sisa air seninya sendiri dan hal ini bagi umat muslim sudah barang tentu dianggap sebagai najis.

Saya juga merasa heran mengapa banyak di tempat – tempat umum seperti mall, bioskop maupun cafe begitu tertarik dengan alat semacam itu. Saya sangat menghargai jika alasannya ialah sebagai bentuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, perlu dipahami pemanfaatan IPTEK tersebut jangan sampai merusak budaya  di dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, dapat saya katakan urinoir dengan sensor inframerah ini seyogianya telah melanggar HAM khususnya bagi kalangan mayoritas penduduk beragama islam di Indonesia. Kita tidak boleh menutup mata jika penduduk di Indonesia mayoritas beragama islam maka dari itu sudah sepantasnya setiap pemanfaatan IPTEK yang diterapkan harus menghormati kaidah atau nilai agama dari kalangan mayoritas tersebut, meskipun di sisi lain kalangan minoritas juga harus diperhatikan dan tidak boleh dideskreditkan. Seperti saya katakan sebelumnya, perkara mengenai buang air kecil pun di agama islam diajarkan “adab” nya.

Sebaiknya fasilitas – fasilitas umum yang tersebar di daerah Indonesia sebaiknya menyediakan kembali menggunakan urinoir tradisional seperti dahulu yaitu adanya tombol/kran air, atau jika perlu di dalam toilet disedikan bak air dan gayung. Sehingga pengguna dapat menggunakan nya untuk menyucikan diri. Toh, wacana ini menurut hemat saya tidak menimbulkan kontroversi bagi pengguna baik dari kalangan mayoritas maupun minoritas agama di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun