Mohon tunggu...
Muhammad Reza Zaini
Muhammad Reza Zaini Mohon Tunggu... -

An anthropolgy and sociology enthusiast. Bachelor from FISIP UI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemilu & Etnis Tionghoa: Dari Partai Tionghoa Indonesia hingga Reformasi

14 April 2014   19:57 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:41 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Liem Koen Hian, pimpinan Partai Tionghoa Indonesia

Rasanya baru 16 tahun yang lalu Indonesia diguncang gelombang rasisme terhadap Etnis Tionghoa. Namun kini, masyarakat umum tak malu untuk memberikan amanat memimpin bagi seorang etnis Tionghoa di pemerintahan daerah atau pusat. Sebutlah mulai bermunculan Bupati atau Gubernur keturunan Tionghoa di beberapa daerah. Masih dalam euforia Pemilu 2014, ada baiknya kita melihat data menarik mengenai partisipasi Etnis Tionghoa di Pemilu yang telah ada. Pemilu 1999 mencatat kurang dari 50 caleg Etnis Tionghoa. Selanjutnya pada Pemilu 2004, setidaknya ada 150 caleg yang memliki latar etnis Tionghoa. Sepuluh tahun kemudian, jumlah tersebut membengkak menjadi 700 caleg Etnis Tionghoa untuk DPR Pusat, DPRD, dan DPD di Pemilu 2014. Dalam konteks terntentu kita tidak bisa mengatakan bahwa Etnis Tionghoa kini telah mememiliki kekuatan politik, namun setidaknya kita bisa mnegatakan bahwa sekarang telah berlangsung momentum kebangkitan Etnis Tionghoa dalam ranah sosial yang sebelumnya cenderung “absen” dari mereka, yakni politik. Diasadari atau tidak, Etnis Tionghoa di Indonesia pernah memiliki basis kekuatan politik, terutama di Era Kolonial.

Politik Tionghoa-Indonesia dari Masa-ke-Masa

Dibawah Era Kolonialisme

Partisipasi Etnis Tionghoa di Indonesia dalam struktur politik Indonesia dapat dirunut hingga ke Era Kolonialisme Belanda. Hal ini dimulai dari pembentukan posisi Kapitein Tjina, yakni sebuah jabatan dalam pemerintahan Hinda-Belanda untuk memimpin, mengorganisir, dan mengatur pemukim Tionghoa di petjinan kota-kota besar untuk kepentingan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Gubernur Jendral Hindia-Belanda berwenang mengangkat seorang Kapitein Tjina dalam masa jabatan tertentu. Adalah Souw Beng Kong, yang di tahun 1619 diangkat menjadi Kapitein Tjina pertama untuk Batavia. Secara keseluruhan Batavia memliki 12 Kapitein Tjina, dari Souw Beng Konghingga Khouw Kim An sebagai Kapitein terakhir di tahun 1918.

13974676941584070937
13974676941584070937

Khouw Kim An, saudagar Batavia yang ditunjuk menjadi Kapitein Tjina

Inilah refleksi dari sistem sosial masyarakat Hindia-Belanda yang didasarkan atas etnis/ras. Barangkali ini pula yang menjadi embrio partai-partai berbasis etnis di Indonesia di Era Pergerakan Nasional. Etnis Tionghoa pun tak terkecuali. Tahukah Anda bahwa negara kita pernah memiliki Partai Tionghoa Indonesia?

Partai Tionghoa Indonesia (PTI) memiliki mayoritas anggota Tionghoa Peranakan. Tionghoa Peranakan secara sosial-kultural berorientasi pada Indonesia, bukan Tiongkok. Selain itu, diantara masyarakat Tionghoa di Indonesia, mereka lebih merupakan budayawan dan intelektual, ketimbang saudagar. Tionghoa Totok-lah yang masih berorientasi pada Tiongkok dan merupakan saudagar lihai (Untuk lebih lanjut lihat Suryadinata, 2007). PTI didirikan pada tahun 1932, didasari keinginan Tionghoa Peranakan untuk . Meski berbasis etnis, partai ini mendukung kemerdekaan Indonesia, dan pernah berhasil meraih satu kursi di Volksraad.

Singkat cerita PTI bubar di tahun 1939. Hal ini dilatari ketika Partai Gerindo pimpinan Amir Sjarifoeddin, mulai menerima golongan Tionghoa Peranakan sebagai anggota penuh. Liem Koen Hian, pimpinan PTI pun pindah ke Gerindo. Ia digantikan wakilnya, Tjoa Sik Ien. Struktur kepemimpinan PTI semakin pudar dengan meningkatnya kekhawatiran invasi Jepang. Alhasil, PTI menggabungkan diri untuk memberikan dukungan kepada organisasi payung politik GAPI (Gabungan Politik Indonesia) untuk melawan ancaman fasisme di Hindia-Belanda.

Dibawah Indonesia

Bila pemerintah Kolonial Belanda berusaha memisah-misah berdasarkan etnis untuk kepentingan kolonialisme, maka pemerintah Indonesia berusaha untuk “meleburkan” Etnis Tionghoa. Di bawah pemerintahan awal Republik Indonesia, berangsur-angsur basis politik Etnis Tionghoa mulai pudar dan melemah pada puncaknya di Orde Baru.

Setelah kemerdekaan , terdapat sebuah sentimen kuat diantara elit pribumi untuk “menasionalisasikan” sistem pemerintahan Indonesia hasil warisan Hindia-Belanda. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pribumi berada salam posisi ekonomi dan politik yang lemah dalam struktur politik Hindia-Belanda. Dan ketika mereka menciptakan Indonesia, yang pasti pribumi-lah yang harus berkuasa di tanah air sendiri. Sukarno melakukan nasionalisasi besar-besaran. Salah satunya adalah Program Benteng yang berusaha mendongkrak partisipasi ekonomi elit pribumi dan membatasi ruang gerak elit ekonomi Tionghoa

Uniknya, meski usaha pemerintah Orde Lama untuk mengurangi gerak Etnis Tionghoa dalam sektor ekonomi, namun pada akhirnya elit politik pribumi sadar bahwa tanpa Etnis Tionghoa, sulit bagi mereka untuk me-manage perekonomian Indonesia. Hingga hal tersebut “dikompromikan” dan lahirlah apa yang disebut sebagai Kongsi “Ali-Baba” dari Program Benteng ini. “Ali” adalah metafor bagi seorang elit politik pribumi yang punya modal tapi tidak bisa menjalankan bisnis, dan “Baba” adalah metafor bagi elit ekonomi Tionghoa yang menjalankan bisnis si-pribumi. Maka, Etnis Tionghoa di Indonesia sengaja tidak diberi kekuatan politik, agar bargaining position mereka tidak membahayakan elit politik pribumi. Terlebih ketika pemerintahan Orde Lama berganti menjadi Orde Baru. Jangankan keikutsertaan politik, menggunakan aksara Mandarin saja tidak boleh. Hal ini juga merupakan strategi Suharto dan elit Orde Baru untuk berkongsi dengan Etnis Tionghoa yang tidak memliki bargaining position karena sama sekali tidak punya basis politik.

Kebangkitan Partisipasi Tionghoa dalam Politik

Seperti yang sudah dijelaskan dalam awal tulisan, kini kita melihat bukan hanya kebangkitan Etnis Tionghoa dalam ranah politik, namun juga keterbukaan masyarakat umum terhadap mereka. Dalam konteks tertentu fenomena ini bukan merupakan bangkitnya kekuatan untuk menciptakan basis politik untuk Etnis Tionghoa, seperti halnya Islam yang memiliki basis politik. Sebab, Etnis Tionghoa cenderung bersifat bebas dalam berfiliasi dengan partai politik yang ada di Indonesia kini.

Selain semakin terbukanya masyarakat kita, fenomena ini juga merupakan indikasi kesadaran yang meningkat diantara Etnis Tionghoa untuk merubah kondisi mereka lewat partisipasi politik. Ironisnya, terkadang masih ada saja pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan menggunakan isu SARA untuk melawan oposisi politik mereka yang berasal dari Etnis Tionghoa. Untuk pihak-pihak tersebut, ingatlah apa yang pernah dikatakan oleh Martin Luther King, Jr.: I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin but by the content of their character.

Saatnya memilih pemimpin berdasarkan kapabilitasnya, bukan berdasarkan suku atau agamanya.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun