Mohon tunggu...
Mizanul Amal
Mizanul Amal Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Rakyat Biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Buya Hamka & Sikapnya Tentang Riddah

2 Juni 2015   16:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:23 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Agama adalah bagian dari fundamental dalam hidup dan kehidupan dan dipercaya sejak ratusan tahun lalu oleh masyarakat sebagai bagian dari pendekatan diri kepada Sang Pencipta. Dalam hal keragaman agama dan keberagaman, secara umum, masyarakat menyadari bahwa hal itu merupakan hak setiap individu untuk memilihnya, penuh kesadaran dan tanpa paksaan. Keberagaman tidak bisa dipaksakan apalagi dengan segala model ancaman dan tekanan. Inilah kebebasan yang menurut sebagian orang merupakan anugerah Tuhan terbesar bagi manusia. Yang kadang menjadi persoalan, sejauh manakah makna kebebasan beragama dan berkeyakinan tersebut? Apakah kebebasan beragama diartikan sebagai kebebasan seseorang untuk berpindah-pindah agama?

Dalam literatur sejarah dijelaskan awal terjadinya gerakan murtad yaitu pada masa setelah Rasulullah wafat. Ketika Rasulullah SAW wafat, banyak sekali orang-orang Arab yang kembali murtad dengan tidak lagi menunaikan sholat dan membayar zakat dan segala ajaran Rasulullah. Selain itu juga bermunculan nabi-nabi palsu, Yahudi dan Nasrani menampakkan taringnya bersiap-siap menghancurkan kaum muslimin, sementara kemunafikan mulai tampak dan tersebar di mana-mana. Oleh karena itu Islam memberikan hukuman yang sangat berat bagi pelaku riddah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. bahwa beliau bersabda:

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ : الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ. )رواه البخاري ومسلم(
Artinya:
Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa saya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) adalah utusan Allah kecuali dengan tiga sebab : Orang tua yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jamaahnya. (Riwayat Bukhori dan Muslim)

Asas negara pada abad pertengahan berbeda dengan asas negara modern. Pada abad pertengahan pemikiran tentang suatu negara belum jelas dan tertata, ketika itu agama merupakan pondasi negara, sebagaimana agama merupakan lambang kebangsaan atau nasionalisme. Di daerah Timur, Islam merupakan negara sedangkan di Barat Kristen adalah negara. Seorang muslim akan menjadi warga negara di setiap masyarakat muslim atau kelompok muslim, sebagaimana seorang nasrani yang menjadi warga negara atau anggota di masyarakat atau kelompok kristen. Dan kelompok minoritas selalu mendapat perlindungan dari kelompok mayoritas. Maka ketika seseorang yang keluar dari agama ia dianggap telah melakukan pengkhianatan, karena ia dianggap telah bergabung dengan agama musuh mereka, yaitu negara mereka.

Riddah adalah keluar dari agama Islam menjadi kafir dengan i’tiqad/keyakinan, keraguan/syak, perkataan/qul, dan perbuatan/fi’il. Seperti keyakinan bahwa Allah sang pencipta alam itu tidak ada, kerasulan Muhammad tidak benar, menghalalkan suatu perbuatan yang diharamkan, seperti zina, meminum minuman keras dan zalim, atau mengharamkan yang halal, seperti jual beli, nikah, atau menafikan kewajiban-kewajiban yang disepakati seluruh umat Islam, seperti menafikan shalat lima waktu, atau memperlihatkan tingkah yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah keluar dari agama Islam, seoerti membuang membuang al-Qur’an ke tempat pembuangan kotoran menyembah berhala dan menyembah matahari.

Pada tahun 70-an, di Mesir muncul trend baru dikalangan anak muda Kristen koptik masuk Islam untuk melakukan perkawinan dengan wanita muslimah. Akan tetapi jika perkawinan itu gagal, mereka kembali kepada agama mereka semula, Kristen koptik yang berarti murtad dari agama Islam.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, fenomena perkawinan beda agama sering terjadi. Perkawinan antar agama yang mereka lakukan pada umumnya membawa fenomena-fenomena yang berpengaruh terhadap pembentukan keluarga yang sakinah. Akan tetapi, hanya karena perasaan cinta pasangan-pasangan yang berbeda agama melanjutkan hubungan mereka dalam suatu kehidupan rumah tangga. Pada tahun 80-an seorang artis Emelia Contessa melaksanakan pernikahan dengan seorang Kristiani, Buya Hamka yang pada saat itu ketua MUI menyatakan bahwa pernikahan itu tidak sah. Kasus-kasus pernikahan yang seperti itupun banyak terjadi sekarang.
Pada tanggal 10 Desember 1948 PBB pernah menetapkan DUHAM (Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia), kemudian Buya Hamka mengkajinya dalam sebuah artikel. Ada beberapa pasal yang tidak bisa diterima dan ditolak oleh Buya Hamka salah satu diantaranya ialah pasal 16 ayat 1 DUHAM yang berbunyi:

“Lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk kawin dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dengan hubungan dengan perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal perceraian”.

Menanggapi pasal 16 ayat 1 ini Buya Hamka menjelaskan sikapnya melalui tulisannya:

”Sebab apa saya tidak dapat menerimanya? Sebab saya orang Islam. Yang menyebabkan saya tidak dapat menerimanya ialah karena saya jadi orang Islam, bukanlah Islam statistic. Saya seorang Islam yang sadar, dan Islam saya pelajari dari sumbernya; al-Qur’an dan al-Hadits. Dan saya berpendapat bahwa saya baru dapat menerimanya kalau Islam ini saya tinggalkan, atau saya akui saja sebagai orang Islam, tetapi syari’atnya tidak saya jalankan atau saya bekukan.”

“Tegasnya di sini bahwa Muslim yang sejati, yang dikendalikan oleh imannya, kalau hendak mendirikan rumah tangga hendaklah dijaga kesucian budi dan kesucian kepercayaan. Orang pezina jodohnya hanya pezina pula, orang musyrik, yaitu orang yang mempersekutukan yang lain dengan Tuhan Allah, jodohnya hanya sama-sama musyrik pula. Perkawinan di antara orang yang beriman dengan orang yang musyrik atau kafir adalah haram.”

Pasal lain yang ditolak oleh Hamka adalah hak murtad, sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 DUHAM:
“Setiap orang mempunyai hak untuk berfikir, berperasaan dan beragama. Hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan, dan kemerdekaan baik secara perseorangan maupun secara golongan, secara terbuka dan tertutup, untuk memperlihatkan agama dan kepercayaannya dengan mengerjakannya, mempraktekkannya, menyembahnya dan mengamalkannya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun