Dalam literatur sejarah dijelaskan awal terjadinya gerakan murtad yaitu pada masa setelah Rasulullah wafat. Ketika Rasulullah SAW wafat, banyak sekali orang-orang Arab yang kembali murtad dengan tidak lagi menunaikan sholat dan membayar zakat dan segala ajaran Rasulullah. Selain itu juga bermunculan nabi-nabi palsu, Yahudi dan Nasrani menampakkan taringnya bersiap-siap menghancurkan kaum muslimin, sementara kemunafikan mulai tampak dan tersebar di mana-mana. Oleh karena itu Islam memberikan hukuman yang sangat berat bagi pelaku riddah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. bahwa beliau bersabda:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ : الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ. )رواه البخاري ومسلم(
Artinya:
Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa saya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) adalah utusan Allah kecuali dengan tiga sebab : Orang tua yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jamaahnya. (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Asas negara pada abad pertengahan berbeda dengan asas negara modern. Pada abad pertengahan pemikiran tentang suatu negara belum jelas dan tertata, ketika itu agama merupakan pondasi negara, sebagaimana agama merupakan lambang kebangsaan atau nasionalisme. Di daerah Timur, Islam merupakan negara sedangkan di Barat Kristen adalah negara. Seorang muslim akan menjadi warga negara di setiap masyarakat muslim atau kelompok muslim, sebagaimana seorang nasrani yang menjadi warga negara atau anggota di masyarakat atau kelompok kristen. Dan kelompok minoritas selalu mendapat perlindungan dari kelompok mayoritas. Maka ketika seseorang yang keluar dari agama ia dianggap telah melakukan pengkhianatan, karena ia dianggap telah bergabung dengan agama musuh mereka, yaitu negara mereka.
Riddah adalah keluar dari agama Islam menjadi kafir dengan i’tiqad/keyakinan, keraguan/syak, perkataan/qul, dan perbuatan/fi’il. Seperti keyakinan bahwa Allah sang pencipta alam itu tidak ada, kerasulan Muhammad tidak benar, menghalalkan suatu perbuatan yang diharamkan, seperti zina, meminum minuman keras dan zalim, atau mengharamkan yang halal, seperti jual beli, nikah, atau menafikan kewajiban-kewajiban yang disepakati seluruh umat Islam, seperti menafikan shalat lima waktu, atau memperlihatkan tingkah yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah keluar dari agama Islam, seoerti membuang membuang al-Qur’an ke tempat pembuangan kotoran menyembah berhala dan menyembah matahari.
Pada tahun 70-an, di Mesir muncul trend baru dikalangan anak muda Kristen koptik masuk Islam untuk melakukan perkawinan dengan wanita muslimah. Akan tetapi jika perkawinan itu gagal, mereka kembali kepada agama mereka semula, Kristen koptik yang berarti murtad dari agama Islam.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, fenomena perkawinan beda agama sering terjadi. Perkawinan antar agama yang mereka lakukan pada umumnya membawa fenomena-fenomena yang berpengaruh terhadap pembentukan keluarga yang sakinah. Akan tetapi, hanya karena perasaan cinta pasangan-pasangan yang berbeda agama melanjutkan hubungan mereka dalam suatu kehidupan rumah tangga. Pada tahun 80-an seorang artis Emelia Contessa melaksanakan pernikahan dengan seorang Kristiani, Buya Hamka yang pada saat itu ketua MUI menyatakan bahwa pernikahan itu tidak sah. Kasus-kasus pernikahan yang seperti itupun banyak terjadi sekarang.
Pada tanggal 10 Desember 1948 PBB pernah menetapkan DUHAM (Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia), kemudian Buya Hamka mengkajinya dalam sebuah artikel. Ada beberapa pasal yang tidak bisa diterima dan ditolak oleh Buya Hamka salah satu diantaranya ialah pasal 16 ayat 1 DUHAM yang berbunyi:
“Lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk kawin dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dengan hubungan dengan perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal perceraian”.
Menanggapi pasal 16 ayat 1 ini Buya Hamka menjelaskan sikapnya melalui tulisannya:
”Sebab apa saya tidak dapat menerimanya? Sebab saya orang Islam. Yang menyebabkan saya tidak dapat menerimanya ialah karena saya jadi orang Islam, bukanlah Islam statistic. Saya seorang Islam yang sadar, dan Islam saya pelajari dari sumbernya; al-Qur’an dan al-Hadits. Dan saya berpendapat bahwa saya baru dapat menerimanya kalau Islam ini saya tinggalkan, atau saya akui saja sebagai orang Islam, tetapi syari’atnya tidak saya jalankan atau saya bekukan.”
“Tegasnya di sini bahwa Muslim yang sejati, yang dikendalikan oleh imannya, kalau hendak mendirikan rumah tangga hendaklah dijaga kesucian budi dan kesucian kepercayaan. Orang pezina jodohnya hanya pezina pula, orang musyrik, yaitu orang yang mempersekutukan yang lain dengan Tuhan Allah, jodohnya hanya sama-sama musyrik pula. Perkawinan di antara orang yang beriman dengan orang yang musyrik atau kafir adalah haram.”
Pasal lain yang ditolak oleh Hamka adalah hak murtad, sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 DUHAM:
“Setiap orang mempunyai hak untuk berfikir, berperasaan dan beragama. Hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan, dan kemerdekaan baik secara perseorangan maupun secara golongan, secara terbuka dan tertutup, untuk memperlihatkan agama dan kepercayaannya dengan mengerjakannya, mempraktekkannya, menyembahnya dan mengamalkannya.”
Sikap Buya Hamka menanggapi pasal ini juga ditulisnya, sebagai berikut:
“Dalam hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan. Kata-kata ini tidak dapat diterima oleh orang Islam, sebab sangat bertentangan dengan pokok dasar dan pegangan Agama Islam. Dalam Agama Islam, seorang yang meninggalkan Islam, sehingga tidak beragama sama sekali, atau pindah kepada agama lain; Murtad namanya,” tulis Hamka.
Ketua Majelis Ulama Indonesia pertama ini juga mengajak umat Islam agar memperhatikan QS al-Baqarah ayat 217 (telah terlampir diatas)
Maka, tentang DUHAM pasal 18 tersebut, Hamka memberikan nasehat: “Bagi orang Islam menerima pasal 18 dari Hak-hak Azasi Manusia dengan tidak menghilangkan kalimat; Hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan, berarti mereka telah turut dengan orang yang bukan Islam yang merencanakan Hak-hak Azasi Manusia ini, untuk meruntuhkan Islam dengan sengaja atau karena tidak tahu.”
Dalam tafsir Al-Azhar Buya Hamka menyatakan bahwa soal akidah, diantara Tauhid mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.
Problematika riddah (murtad) merupakan hal yang dilematis. Dalam perspektif Hak Asasi Manusia riddah (keluar dari Islam) merupakan hak bagi setiap orang, Sedangkan dalam perspektif hukum Islam riddah (murtad), menurut ulama fiqh digolongkan sebagai suatu jarimah (tindak pidana) yang dapat dijatuhi hukuman hudud yaitu bunuh. Riddah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan diancam dengan hukuman di akhirat, yaitu dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Hal ini dijelaskan dalam Q.S. Al Baqarah, 217:
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnahlebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Hukuman perbuatan riddah juga dijelaskan secara tegas dalam Al-Sunnah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a., sebagai berikut :
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Artinya:
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa berganti Agama, bunuhlah ia." Riwayat Bukhari.
Atas dasar al-Qur’an dan Hadis Nabi tersebut, maka jumhur ulama berpendapat bahwa hukuman untuk orang yang keluar dari agama Islam adalah mati.
Dalam perspektif Hak Asasi Manusia riddah (keluar dari Islam) merupakan hak bagi setiap orang, karena Islam sangat menghargai hak manusia untuk menetukan keyakinan keagamaannya sendiri. Dalam Q.S. Al Baqarah ayat 256 Allah berfirman:
Artinya:
tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Dalam ayat di atas menjelaskan bahwa paksaan dalam hal keyakinan keagamaan merupakan larangan agama. Hukuman mati bagi orang yang murtad sangat bertentangan dengan semangat kebebasan beragama. Dalam al-Qur’an tidak menyebutkan hukuman fisik di dunia bagi orang yang telah beriman kemudian meninggalkan keimanannya. Hukuman bagi mereka yang murtad merupakan hak Allah bukan hak manusia.
Menurut Abdul Qadir Audah yang dikutip Ahmad Wardi Muslich, keluar dari Islam bisa terjadi dengan salah satu dari tiga cara, yaitu:
1. Dengan perbuatan atau menolak perbuatan
2. Dengan ucapan
3. Dengan iktikad atau keyakinan
Keluar dari Islam dengan perbuatan terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Islam dengan menggapnya boleh atau tidak haram, baik ia melakukannya dengan sengaja atau melecehkan Islam, menggap ringan atau menunjukkan kesombongan. Keluar dari Islam juga bisa terjadi dengan keluarnya ucapan dari mulut yang berisi kekafiran. Contohnya seperti pernyataan bahwa Allah punya anak, mengaku menjadi nabi. Adapun keyakinan semata-mata tidak menyebabkan seseorang menjadi murtad (kafir), sebelum diwujudkannya dalam bentuk ucapan atau perbuatan.
Menurut Imam Syafi’i, penyihir tidak dianggap sebagai murtad kecuali kata-kata atau perbuatannya itu menunjukkan kekafiran, seperti menyekutukan Allah, sujud kepada matahari, bintang dan bulan. Dengan demikian, penyihir hanya dianggap melakukan maksiat.
Menurut Buya Hamka sebab masuk agama adalah dua perkara. Pertama; membersihkan jiwa dan akal dari kepercayaan akan kekuatan ghaib, yang mengatur alam ini, yaitu percaya hanya kepada Allah dan berbakti, memuji dan beribadah kepadanya. Kedua; membersihkan hati dan membersihkan tujuan dalam segala gerak gerik dan usaha, niat ikhlas kepada Allah.
Buya Hamka adalah seorang ulama yang tidak kenal kompromi dalam hal akidah, tidak ada tawar menawar untuk akidah. Dia merupakan ulama yang teguh pendirian, rela mengenyampingkan kepentingan lain demi keyakinan akidahnya, Beliau juga berani mengambil sikap untuk memungundurkan diri dari jabatan ketua MUI ketika Fatwanya tentang haram mengucapkan natal kepada umat kristiani tidak diterima pemerintah.