Ada yang berbeda ketika hari libur mulai mendekat. Bukan cuma karena jadwal kuliah yang mulai lengang, tapi karena hati seperti diberi ruang—untuk bernapas, untuk melambat, dan untuk kembali menjadi diri sendiri. Di tengah segala rutinitas yang menyita perhatian, aku baru sadar kalau ada satu hal yang sudah lama sekali tak kusentuh: hobiku menggambar.
Dulu, menggambar adalah cara termudah bagiku untuk melarikan diri dari tekanan. Di sela-sela tugas sekolah atau saat hujan deras mengguyur sore hari, aku akan duduk dengan pensil dan kertas, menciptakan dunia sendiri lewat garis dan warna. Tapi seiring waktu, alat gambar mulai tergeser oleh to-do list yang makin panjang, dan malam-malam tenang berubah jadi waktu begadang demi deadline. Rasanya menggambar sudah seperti kemewahan yang tidak bisa selalu kumiliki.
Namun kini, saat liburan ada di depan mata, aku merasakan dorongan yang kuat untuk kembali. Tidak perlu langsung menghasilkan karya masterpiece atau membagikannya ke media sosial. Aku hanya ingin kembali duduk diam, menggenggam pensil warna, dan membiarkan imajinasi mengalir.
Awalnya agak canggung. Tangan yang dulu lincah menggoreskan garis kini terasa kaku. Buku sketsa yang sudah lama tertutup tampak asing. Tapi setelah beberapa menit mencoba, muncul perasaan yang familiar—seperti bertemu sahabat lama. Goresan yang tadinya ragu-ragu mulai mengalir dengan lebih lancar. Aku tak memikirkan hasilnya, hanya menikmati prosesnya.
Menggambar di masa sekarang bukan lagi soal menciptakan sesuatu yang indah, tapi soal mengingat siapa diriku dulu dan bagaimana aku dulu merasa damai dengan hal-hal sederhana. Dalam selembar kertas, aku bisa bercerita tentang perasaan, meluapkan hal-hal yang sulit diungkap lewat kata. Aku juga jadi lebih peka terhadap warna, bentuk, dan nuansa di sekitarku—hal-hal yang selama ini mungkin luput karena terlalu sibuk.
Menariknya, sejak mulai menggambar lagi, aku merasa hari-hari jadi lebih pelan. Bukan karena waktu benar-benar melambat, tapi karena aku lebih hadir di dalamnya. Aku mulai menyadari aroma pagi yang lembut, cahaya matahari yang jatuh di meja belajarku, dan suara-suara kecil yang biasanya terabaikan dan yang paling penting duniaku seakan kembali. Semua itu seperti memberi energi baru yang tak bisa kutemukan dari scroll media sosial atau menonton video hiburan.
Mungkin itulah kekuatan dari sebuah hobi. Ia bukan hanya aktivitas, tapi jembatan untuk kembali merasa hidup. Bagi sebagian orang, itu bisa berupa membaca, menulis, berkebun, atau memasak. Bagi orang lain, mungkin menonton ulang film favorit atau merangkai puzzle. Dan buatku, itu menggambar.
Menjelang liburan ini, aku memutuskan untuk menjadikan hobiku sebagai agenda wajib. Tidak harus tiap hari, tidak perlu sempurna. Asal kuluangkan waktu untuk duduk dan menggambar, itu sudah cukup. Aku juga mulai mengeksplorasi alat baru: mencoba digital drawing lewat tablet, mencampur cat air dengan pensil warna, bahkan iseng meniru gaya ilustrator yang aku sukai. Semua itu bukan demi hasil, tapi demi pengalaman.
Liburan kali ini jadi terasa berbeda. Bukan karena aku punya rencana jalan-jalan jauh atau kegiatan spektakuler, tapi karena aku memberi ruang untuk diri sendiri. Rasanya seperti kembali ke rumah—rumah yang tak punya dinding, tapi penuh warna dan imajinasi.
Buat siapa pun yang merasa lelah, bosan, atau kehilangan arah, mungkin liburan ini adalah waktu yang tepat untuk menengok kembali hobi yang pernah membuatmu bahagia. Tak harus sempurna, tak perlu diapresiasi siapa pun. Cukup kembalikan dirimu pada aktivitas yang membuatmu merasa utuh.