Mohon tunggu...
Luthfya Zahra Nur Afifah
Luthfya Zahra Nur Afifah Mohon Tunggu... Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga – 24107030050

Seorang mahasiswa semester awal yang menyukai pembahasan tentang isu-isu sosial, politik, psikologi. Tertarik di bidang budaya, seni dan bahasa. よろしく!greetings!

Selanjutnya

Tutup

Diary

Satu Semester Bersama Kompasiana: Tempat Curhat, Belajar, dan Kadang Bikin Pusing Sendiri

13 Juni 2025   14:23 Diperbarui: 13 Juni 2025   14:23 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi menulis artikel (Sumber: Freepik/freepik)

Awalnya, saya menulis di Kompasiana bukan karena panggilan hati atau keinginan pribadi. Saya menulis karena... tugas. Tepatnya, tugas dari salah satu mata kuliah yaitu Pengantar Jurnalistik. Dalam mata kuliah ini, dosen memberikan sistem penilaian yang cukup unik: setiap artikel yang dipublikasikan akan mendapat poin tertentu, dan akumulasi poin itulah yang menentukan nilai akhir kami.

Untuk bisa mendapatkan nilai A, mahasiswa harus mengumpulkan sebanyak 950 poin. Sedangkan nilai minimal untuk lulus dari mata kuliah ini berada di angka 500 poin. Artikel biasa, yang tidak mendapatkan label apa pun dari Kompasiana, hanya dihargai 10 poin. Tapi jika artikel itu masuk dalam "pilihan", maka nilainya melonjak jadi 50 poin. Dan jika berhasil menjadi "artikel utama", maka akan mendapat 100 poin sekaligus.

Terdengar sederhana, bukan? Tulis artikel, kumpulkan poin. Tapi pada kenyataannya, mendapat label dari Kompasiana bukan perkara yang mudah. Sampai artikel ini saya tulis pun, saya belum sekalipun berhasil mendapatkan label apapun. Rasanya seperti kerja keras yang tak terlihat. Tapi saya tetap menulis, karena saya tahu setiap artikel yang saya buat membawa saya selangkah lebih dekat ke target akhir: nilai A dan IPK yang tetap aman.

Untungnya, di tengah perjuangan yang lumayan melelahkan ini, dosen juga memberikan sebuah keringanan. Dengan beberapa kali memberikan event khusus untuk di tulis di Kompasiana lalu menawarkan kelipatan poin sebagai bonus. Beberapa di antaranya seperti "Cerita Jogja", artikel liputan "kuliah umum", dan liputan "Ramadhan" yang juga selalu saya ikuti. Lumayan, karena artikel-event seperti ini bisa bernilai 3 kali lipat. Tapi, tentu saja syaratnya lebih ketat yaitu menulis minimal 750 kata, harus menyertakan kutipan narasumber, dan wajib menyisipkan foto selfie saat meliput langsung di lapangan.

Dari sinilah saya mulai merasakan tantangan sebenarnya. Bukan hanya menulis semata, tapi juga mengatur waktu, membagi fokus antara tugas kuliah lain, serta mencari ide yang layak dijadikan artikel. Tidak jarang saya kehabisan ide lalu mentok di paragraf pertama, atau merasa burn out karena deadline tugas lain yang tak kalah padat. Bahkan di akhir pekan pun, saya sering dihantui rasa bersalah karena belum sempat menulis satu artikel pun untuk minggu itu.

Namun di balik semua rasa lelah dan tekanan itu, perlahan saya juga menemukan sisi lain dari proses ini. Ada kalanya saya malah ketagihan menulis. Saat ide sedang mengalir deras, rasanya semua yang saya alami sehari-hari bisa menjadi bahan tulisan. Mulai dari pengalaman pribadi, kejadian lucu bersama teman, bahkan hasil observasi atau wawancara yang awalnya dilakukan untuk tugas lain, bisa saya olah kembali menjadi artikel yang cukup berbobot.

Bisa dibilang, saya belajar untuk menyelam sambil minum air. Misalnya, saat harus turun langsung ke lapangan untuk melakukan observasi atau wawancara, saya sekalian memotret suasana dan mencatat kutipan penting. Dengan begitu, saya tidak hanya menyelesaikan satu tugas, tapi juga menyiapkan bahan tulisan untuk Kompasiana.

Hal lain yang menarik, saya jadi lebih peka terhadap hal-hal di sekitar saya. Saya mulai terbiasa bertanya pada diri sendiri, "Apakah ini bisa jadi tulisan?", atau "Apa yang menarik dari kejadian tadi?". Proses menulis perlahan melatih saya untuk mengamati, merefleksi, dan mengolah informasi menjadi narasi.

Meskipun hasil tulisan saya belum pernah mendapat label khusus dari Kompasiana, saya tetap merasa berkembang. Saya jadi lebih tahu bagaimana menyusun paragraf pembuka yang menarik, menyampaikan opini dengan bahasa yang santun tapi tegas, dan mengakhiri tulisan dengan kesan yang mengena. Hal-hal ini mungkin tidak langsung terlihat dari luar, tapi sangat berarti bagi saya yang masih terus belajar menulis.

Menulis di Kompasiana selama satu semester ini bukan hanya soal mengejar poin. Bagi saya pribadi, ini menjadi semacam latihan rutin yang memaksa saya untuk berpikir, menyusun ide, dan mengekspresikan pendapat. Memang, ada banyak tantangan di baliknya. Tapi justru dari situ saya merasa terus didorong untuk lebih disiplin dan kreatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun