Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Bola

Match Fixing dalam Sepakbola Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hukum Pidana

11 Januari 2016   23:13 Diperbarui: 11 Januari 2016   23:23 2093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepakbola menjadi salah satu olahraga favorit nomor wahid masyarakat global. Sejak jaman dulu hingga saat ini sejarah sepakbola dunia hampir tidak pernah mengalami fase kemunduran meskipun terkadang ada dinamika yang mengiringi perjalanannya. Namun hal tersebut tidak terjadi di sepakbola Indonesia, jika kita memandang sepakbola, maka berbicara mengenai banyak hal, bukan sekedar prestasi, melainkan juga industri, manajemen tim, pembinaan pemain muda, dan suporter atau penonton sebagai konsumen.

Indonesia masih kalah dari negara-negara lain termasuk tetangga serumpun di asean maupun tingkat asia. Jangankan industri, pembinaan pemain muda potensial yang pada akhirnya akan bermuara pada prestasi saja kita masih terseok-seok. Hal tersebut diperparah dengan adanya isu pengaturan skor ( match fixing ) yang semakin tahun naik ke permukaan menjadi sebuah rumor yang patut untuk ditindaklanjuti secara serius oleh seluruh stakeholder yang ada karena suara yang semakin nyaring membicarakan hal tersebut.

            Sebelum membahas lebih jauh topik ini, terlebih dahulu mari kita telaah secara mendalam tentang pengertian match fixing itu sendiri, menurut federasi sepakbola internasional ( FIFA ), adalah sebuah pengaturan suatu pertandingan sepak bola untuk mendapatkan keuntungan secara materiil maupun immateriil karena hasil pertandingan telah memenuhi pesanan dari suatu perseorangan atau kelompok tertentu yang berada dalam lingkup nasional maupun internasional. FIFA menambahkan bahwa pengaturan skor yang terjadi dalam dunia si kulit bundar biasanya telah direncanakan secara kriminal dan berada pada tingkat transnasional yang termasuk dalam kejahatan judi, maupun korupsi secara personal atau bahkan kelembagaan. Biasanya hal semacam ini lebih sering menyerang klub yang bermain di liga suatu negara tertentu ketimbang event-event besar yang diselenggarakan oleh FIFA sendiri dan melibatkan tim nasional.

            Banyak pihak khususnya di Indonesia yang menganggap bahwa keterlibatan negara ( dalam hal ini pemerintah ) untuk menangani kasus pengaturan skor dalam dunia sepak bola merupakan sebuah intervensi yang jelas-jelas dilarang dalam statuta FIFA yang memberikan ketentuan bahwa keberadaan sepak bola dalam suatu negara harus bersifat independen dan bersih dari intervensi pihak manapun termasuk pemerintah. Padahal perkembangan match fixing hingga dewasa ini bukan hanya menjangkau football familly atau dengan kata lain pelaku dalam dunia sepakbola, melainkan juga menggandeng elemen-elemen lain di luar bidang olahraga tersebut.

Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan mafia dan bandar judi dalam lingkup sepak bola yang merupakan “orang luar” sudah sangat kental dan harusnya bisa tercium oleh aparat penegak hukum yang mewakili negara, FIFA tentu tidak bisa menjangkau mereka, mungkin induk organisasi sepakbola internasional tersebut bisa saja memberikan sanksi disiplin bagi pelaku bola dalam hal ini pemain, wasit, pelatih, offcial team maupun official pertandingan lainnya, namun bagaimana dengan bandar dan mafia yang terlibat?

FIFA tidak punya cukup bekal dasar hukum untuk menjerat mereka dengan sanksi disiplin apalagi sanksi pidana, disinilah saatnya dibutuhkan kehadiran negara melalui otoritas hukumnya khususnya Indonesia untuk ikut turun tangan menangani dengan melakukan investigasi melalui serangkaian proses penyidikan, penyelidikan dan penuntutan.

            FIFA dengan tegas menyatakan bahwa organisasi tersebut memberikan kewenangan sepenuhnya kepada negara untuk ikut turun tangan menangani kejahatan pidana internasional yang terorganisir ini dengan menggandeng elemen-elemen semacam interpol, negara, dan seluruh pemangku kebijakan yang berada pada tingkat nasional, regional hingga internasional.

FIFA menganggap bahwa pengaturan skor merupakan suatu kejahatan yang membutuhkan respon positif dan cepat dari para pihak yang berkepentingan untuk segera memeranginya karena kejahatan ini sudah hampir memiliki level sama dengan korupsi yang telah ditetapkan oleh PBB ( Perserikatan Bangsa – Bangsa ) sebagai kejahatan pidana luar biasa ( extra ordinary crime ). Dari pernyataan FIFA yang saya kutip di atas dapat bersama-sama kita simpulkan bahwa kehadiran negara melalui aparat penegak hukumnya untuk menangani kasus match fixing bukan merupakan bentuk intervensi negara terhadap sepakbola seperti yang mungkin dikhawatirkan oleh induk sepakbola Indonesia ( PSSI ) selama ini sehingga membuat mereka sedikit ragu-ragu untuk menggandeng pemerintah dalam menuntaskan masalah ini.

            Match fixing bukan hal baru dalam dunia olahraga, khususnya sepakbola di Indonesia, ada banyak kisah tragis dengan bumbu praktik pengaturan skor yang mengiringi perjalanan kelam sepakboloa nasional. Masih segar dalam ingatan ketika pada turnamen piala Tiger ( sekarang AFF Cup ) yang mempertemukan tim nasional di tingkat asia tenggara pada tanggal 31 Agustus 1998,

kala itu timnas garuda kebanggan kita masih diperkuat oleh pemain-pemain legendaris yang mungkin sekarang sudah pensiun atau bahkan mengabdikan diri menjadi pelatih-pelatih klub, nama-nama seperti Mursyid Effendi, Aji Santoso, dan Miro Baldo Bento adalah saksi hidup sejarah memilukan sepakbola nasional saat itu. Kisah berawal ketika timnas Indonesia sudah memastikan diri lolos dari babak penyisihan grup, mereka tinggal memainkan pertandingan terakhir menghadapi Thailand yang juga sudah sama-sama memastikan satu tiket lainnya ke babak selanjutnya.

Posisi di klasemen saat itu Indonesia berada di posisi pemuncak, sementara Thailand menyusul persis di bawahnya. Point klasemen kedua negara ini pun sama kuat, hanya selisih gol yang membedakan. Peraturan turnamen mengharuskan bahwa juara grup A harus berjumpa dengan tuan rumah Vietnam yang saat kejuaraan itu menjadi runner up grup B, sedangkan runner up grup A bertanding menghadapi juara grup B di partai penyisihan selanjutnya. Namun, Indonesia dan Thailand sama-sama menganggap bahwa pertemuan dengan Vietnam merupakan suatu hal yang sangat menakutkan, karena posisi Vietnam saat itu adalah tuan rumah kompetisi, sehingga permainan mereka kala itu cukup sempurna dan ditakuti oleh lawan-lawannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun