Sebenarnya, kami, rakyat jelata yang konon adalah "tulang punggung bangsa" ini. Kami dengan hati lapang dan dompet terbuka, sangat menghargai karya para musisi tanah air. Kami menyadari bahwa musik bukan hanya seni, tetapi juga nafkah. Maka kami pun berlangganan platform legal, menonton konser, membeli rilisan fisik, dan tak pernah mengeluh ketika YouTube kami dipenuhi iklan demi mendukung monetisasi. Kami tak pernah keberatan. Kami mendukung.
Tapi ketika harapan kami adalah dialog strategis dan diplomatis demi sistem royalti yang adil dan transparan... apa yang kami dapatkan? Birokrasi. Ya, sekumpulan pejabat berkemeja putih gading dan pikiran kusut yang dengan cekatan mampu mengubah niat baik menjadi sengkarut peraturan, pasal karet, dan celah pungli yang siap menjerat siapa pun. Bahkan burung pun tak boleh berkicau sembarangan, karena bisa saja disangka membajak lagu.
Kini, setiap warung kopi yang menyetel musik dari radio pun wajib merogoh kocek, karena dianggap mengambil keuntungan dari karya musik. Dandut koplo receh yang menemani tukang parkir pun dihitung sebagai penghasilan. Kami bertanya, di mana letak keadilan itu? Apakah negara ini hanya memihak kepada para lembaga dan asosiasi berlabel resmi, namun tuli terhadap suara rakyat?
Lebih lucu lagi, bahkan suara kentut pun dikabarkan bisa kena royalti jika dianggap mengganggu estetika musik orisinal di ruang publik. Apakah negara ini sudah sekacau itu, hingga menyaring udara pun harus bayar fee?
Ironisnya, suara rakyat yang sehari-hari berseru, mengeluh, bahkan memekikkan keadilan, tidak mendapat royalti sedikit pun. Padahal, suara kami lebih asli, lebih jujur, dan lebih lantang daripada jingle iklan Kementerian. Namun sayang, suara rakyat hanya dianggap polusi, bukan kontribusi.
Jika kami menyetel lagu sambil jualan gorengan di pinggir jalan, katanya itu termasuk komersialisasi karya musik. Tapi jika pemerintah menggunakan lagu nasional atau lagu pop dalam acara propaganda, itu disebut "penguatan karakter bangsa". Sungguh indah permainan definisi ini.
Dan ketika kami menolak membayar pungutan tanpa kejelasan, kami disebut tak nasionalis. Ketika kami mempertanyakan sistem, kami dituduh merusak semangat gotong royong. Luar biasa. Bahkan otak kami pun tak diberi ruang untuk bernalar, karena sudah dikepung aroma royalti dari segala arah.
Di negara ini, rakyat miskin diminta sabar, pelaku UMKM diminta patuh, dan semuanya harus bayar. Bayar udara, bayar jalan rusak, bayar BPJS, bayar STNK yang tidak selalu berguna, dan sekarang... bayar suara!
Entah kapan terakhir kali rakyat merasa bahwa negara ini berpihak pada mereka. Bahkan ketika kami bersuara lewat musik, kami dibisukan oleh tarif. Seolah-olah, satu-satunya cara sah untuk mendengarkan lagu adalah dengan menjadi pejabat. Karena hanya mereka yang punya akses bebas ke segala fasilitas, termasuk nalar absurd.
Kami bukannya tak mau membayar royalti. Kami bukan bajingan bajakan. Tapi ketika uang yang kami bayarkan masuk ke lubang birokrasi yang tak transparan dan bercampur kerakusan, kami hanya bisa mengurut dada.
Sungguh, andai logika dan moral bisa dikomersialkan, kami akan dengan senang hati ikut urunan. Setidaknya, untuk menyuplai sedikit akal sehat ke kepala-kepala kosong yang hanya bisa mengubah regulasi menjadi ladang basah pungli.