Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera untuk kita semua,
Hari ini, izinkan saya mengajak kita semua merenung lebih dalam tentang kata yang sering kita gaungkan: Gender Equality --- Kesetaraan Gender.
Kita bersyukur, banyak pintu yang dulu terkunci bagi wanita kini telah terbuka.
Wanita bisa menjadi pemimpin, pekerja, peneliti, pencipta,
bahkan penentu masa depan bangsanya.
Dan itu adalah kemenangan peradaban.
Namun, saya ingin kita bertanya jujur pada diri sendiri:
Apakah dalam membuka pintu-pintu itu,
tanpa sadar, kita menutup pintu lain?
Kita hidup di masyarakat,
di mana sebagian besar pria --- suami, ayah, anak lelaki ---
masih memikul amanah besar:
mencari nafkah, menghidupi keluarga, menjadi tulang punggung.
Ketika ruang kerja diperluas untuk wanita --- itu baik,
Tapi ketika kebijakan tidak seimbang,
ketika pria yang menjadi pencari nafkah
justru semakin sulit mendapat pekerjaan,
atau dianggap kurang "diinginkan" di banyak sektor,
maka benturan yang tak kasat mata pun lahir.
Bukan benturan gender,
tapi benturan beban dan peran.
Bukan konflik laki-laki vs perempuan,
tapi konflik ketimpangan tanggung jawab di era baru.
Kesetaraan sejati bukan soal siapa yang boleh bekerja,
tapi soal bagaimana kita membagi ruang kerja dan peran
dengan adil dan bijaksana --- untuk pria dan wanita.
Kita tak ingin lahir generasi pria yang lelah, terpinggirkan,
dipojokkan karena tak mampu memenuhi nafkah,
bukan karena malas,
tapi karena ruang kerjanya menyempit tanpa disadari.
Dan kita tak ingin lahir generasi wanita yang terbebani dua kali lipat,
karena bekerja di luar sekaligus dipaksa memikul semua peran di rumah.
Maka saya serukan:
Kesetaraan bukan adu kuat, bukan saling ambil peran, tapi saling bagi peran dengan adil.
Bukan pria atau wanita yang menang,
tetapi keluarga, masyarakat, dan generasi yang menang ---
karena kita bekerja sama, bukan saling singkirkan.