Mohon tunggu...
Luthfi
Luthfi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Gadjah Margonda

Menulis untuk mengasah pikiran, imajinasi, dan bersenang-senang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Bawah Kaki si Tiga Warna

31 Januari 2020   23:14 Diperbarui: 20 Juni 2020   15:25 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."

          Di bekas rumah Sie Kong Liang yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda, naskah tersebut dikumandangkan. Naskah yang dibacakan oleh Soegondo Djojopuspito dalam penutupan Kongres Pemuda Kedua itu merupakan sebuah manifestasi kebangkitan kesadaran nasional Hindia Belanda dalam usaha untuk meraih kemerdekaan. Butuh waktu sekitar tiga abad bagi masyarakat Hindia Belanda untuk menyadari pentingnya persatuan, karena pemerintah kolonial telah menerapkan suatu politik devide et impera. Yaitu kebijakan politik yang bertujuan untuk memecah-belah masyarakat Hindia Belanda, dengan cara ikut campur dalam urusan politik kerajaan dan mengadu domba kerajaan-kerajaan di Nusantara. Maka dari itu, lewat kongres kepemudaan ini masyarakat terdidik Hindia Belanda telah membuktikan bahwa politik devide et impera dapat dipatahkan. Dalam Kongres Pemuda inilah semangat nasionalisme Indonesia yang kita kenal sekarang dikonsepsikan, disusun, dan dilahirkan.

          Dengan lahirnya semangat nasional ini, masyarakat Hindia Belanda yang sudah tiga abad berada di bawah kaki si Tiga warna sudah selangkah lebih dekat dengan kemerdekaan. Tetapi sebelum menjadi bangsa yang merdeka, pertama-tama Hindia Belanda harus bersatu terlebih dahulu. Sumpah Pemuda menunjukkan bahwa Hindia Belanda yang merdeka bukanlah angan-angan kosong, apalagi semenjak tahun 1900-an, tiga prasyarat bagi bangkitnya kesatuan nasional di Hindia Belanda telah terpenuhi. Ketiga prasyarat itu adalah kesatuan ekonomi, administrasi, politik (pemerintahan), dan budaya. Walaupun ketiga prasyarat itu telah terpenuhi, kebangsaan tidak akan bangkit dengan sendirinya. Sebagai prasyarat, yang terkandung di dalamnya hanyalah peluang bagi bangunnya kebangsaan dan terlembaganya suatu kekuatan politik (Simbolon, 2007: 235).

          Meskipun begitu, tidak ada peluang yang tanpa masalah. Berhasil atau tidaknya pelembagaan kekuatan politik Bumiputera itu tergantung pada kemampuan mereka untuk mengatasi masalah-masalah yang datang menyertai. Masalah yang dimaksud adalah sulitnya menyatukan Nusantara yang begitu luas dan dihuni oleh banyak suku bangsa. Bahkan Mahapatih Gadjah Mada dengan segala sumber daya yang dimiliki Kerajaan Majapahit, masih membutuhkan waktu 21 tahun (dari tahun 1336-1357) untuk menyatukan Nusantara (Isnaeni). Tantangan utama yang dihadapi para pemuda di seperempat awal abad ke-20 adalah bagaimana cara menyatukan pemikiran masyarakat Hindia Belanda akan sebuah konsep kesatuan nasional. Jika kita bandingkan dengan penyatuan Nusantara ala Gadjah Mada, maka yang dilakukannya relatif lebih mudah, karena Gadjah Mada melakukan penyatuan lewat cara-cara koersif--yang sampai batas tertentu juga merupakan suatu bentuk kolonialisme. Maka dari itu, pemuda-pemuda Bumiputera mencoba memikirkan strategi untuk menyatukan Hindia Belanda tanpa ada yang merasa terjajah di bawah panji persatuan.

          Sebagaimana kita tahu, penyatuan pemikiran itu tidak pernah mudah, karena manusia cenderung untuk membenarkan pemikirannya sendiri. Apalagi yang dicoba disatukan adalah sebuah konsep yang abstrak, yaitu suatu paham kebangsaan. Menurut Benedict Anderson (2006), bangsa adalah suatu komunitas politik yang dibayangkan, karena anggota dari bangsa itu sendiri tidak mungkin mengenal, bertemu, atau bahkan sekedar mendengar siapa-siapa saja anggota dari bangsa tersebut. Tetapi di dalam kepala setiap anggota bangsa tersebut, mereka membayangkan bahwa dirinya adalah bagian dari suatu kesatuan. Perasaan kebangsaan dapat muncul lewat adanya rasa persaudaraan, senasib, dan sepenanggungan. Sebenarnya bangsa itu sendiri sudah eksis di Nusantara jauh sebelum bangsa Indonesia ada, tetapi bangsa-bangsa yang ada di Nusantara hanya berada di lingkup sebuah kerajaan dan loyal kepada seorang raja. Sementara bangsa yang coba diwujudkan lewat Sumpah Pemuda adalah suatu kebangsaan yang akan menjadi identitas nasional Hindia Belanda, atau dalam kata lain, yaitu kesatuan dari bangsa-bangsa yang ada di Nusantara.

               Karena kebangsaan adalah hal yang abstrak, maka dibutuhkan suatu identitas nasional untuk merekatkannya. Identitas nasional ini biasa kita sebut dengan nama nasionalisme, yaitu sebuah perasaan dimana seseorang mencintai negaranya sebagai identitas dirinya dan bangsanya. Dengan adanya identitas nasional, masyarakat Bumiputera akan merasa sepenanggungan dengan orang lain yang berada dalam lingkup Hindia Belanda dan menyingkirkan perbedaan di antaranya. Dalam sejarahnya, nasionalisme di kalangan Bumiputera baru muncul saat Belanda memberlakukan politik etis. Yaitu suatu politik balas budi yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda memegang hutang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan rakyat Nusantara.

           Program yang dilaksanakan dalam politik etis dibagi menjadi tiga bagian, yaitu irigasi, edukasi, dan emigrasi. Irigasi merupakan program pembangunan dan penyempurnaan sarana dan prasarana untuk kesejahteraan rakyat, terutama dalam bidang pertanian dan perkebunan. Hal ini dilakukan dengan membuat waduk-waduk besar penampung air hujan untuk pertanian, dan melakukan perbaikan sanitasi untuk mengurangi penyakit. Selain itu dilakukan juga perbaikan sarana infrastruktur terutama jalan raya dan jalur kereta api sebagai media untuk pengangkutan komoditi hasil pertanian dan perkebunan. Edukasi merupakan program peningkatan mutu SDM dan pengurangan jumlah buta huruf yang berimplikasi baik untuk pemerintah Belanda sendiri yaitu mendapatkan tenaga kerja terdidik namun dengan gaji yang murah (Museum Kepresidenan, 2019).

          Dari ketiga program politik etis, kebijakan edukasi lah yang paling berdampak dalam proses kebangkitan nasional Hindia Belanda. Dampak dari politik etis adalah munculnya kalangan priyayi Jawa yang baru, yang biasa disebut dengan priyayi rendah. Mereka adalah Bumiputera yang sudah mendapatkan pendidikan barat dan berpikiran maju, priyayi baru ini memandang pendidikan sebagai kunci menuju kemajuan (Ricklefs, 2007: 342). Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda juga dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa di dunia, terutama yang terjadi pada permulaan abad ke-20. Misalnya kejayaan Kekhalifahan Turki yang makin goncang akibat gerakan Turki Muda (1880-1913), pecahnya perlawanan rakyat lewat pemberontakan Boxer di Tiongkok pada 1900, Perang Boer di Afrika Selatan (1889-1902) antara Belanda dan Inggris, dan kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang 1904-1905. Goyahnya Kerajaan Turki dan Bangkitnya generasi muda Turki telah merangsang pembaruan pemikiran di Hindia-Belanda. Maraknya semangat anti-penjajahan di kalangan masyarakat Tiongkok, berimbas pada menguatnya sentimen yang sama di kalangan Bumiputera. Perang Boer di Afrika Selatan menunjukkan bahwa sesungguhnya penjajahan itu harus dan bisa dilawan, kalau perlu perang. Sementara kemenangan Jepang atas Rusia menghancurkan anggapan tentang Eropa yang tak terkalahkan (Simbolon, 2007: 247).

          Sebagai akibat dari gejolak-gejolak sejarah seperti yang dituliskan di atas, organisasi-organisasi pergerakan di Hindia Belanda otomatis terlahir. Misalnya di kalangan pemuda pada waktu itu, terdapat kelompok-kelompok yang dengan tegas menghendaki persatuan Indonesia. Salah satunya adalah Perhimpunan Indonesia, yaitu sebuah perhimpunan yang didirikan oleh mahasiswa-mahasiswa Hindia Belanda di Negeri Belanda pada tahun 1908. Pada awalnya perhumpunan ini bernama Indische Vereniging dan hanya mengurus kepentingan-kepentingan mahasiswa Bumiputera yang sedang menempuh pendidikan di Negeri Kincir Angin. Perkumpulan ini mempunyai arti yang sangat penting bagi pergerakan nasional, karena perkumpulan ini mempersatukan semua pelajar yang datang dari Hindia Belanda. Misalnya pelajar-pelajar dari Jawa, Sumatera, Ambon, Minahasa, dan lain-lain. Sehingga persamaan kesukuan mereka sedikit demi sedikit hilang, yang kemudian diganti dengan perasaan kebangsaan Indonesia (Sutjiatiningsih, 1999: 14). Perasaan kebangsaan di kemudian hari memunculkan semangat nasionalisme karena keinginan untuk bersatu melawan musuh bersama, yaitu lepas dari penjajahan si tiga warna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun