Mohon tunggu...
Luthfi
Luthfi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Gadjah Margonda

Menulis untuk mengasah pikiran, imajinasi, dan bersenang-senang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Media Sosial, Kamar Gema, dan Anonimitas

29 September 2019   17:07 Diperbarui: 29 September 2019   17:30 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Media sosial adalah terobosan terbaru dalam cara manusia berkomunikasi di abad 21, medsos merupakan dampak langsung dari perkembangan dua teknologi, yaitu teknologi komputer dan internet. Karena teknologi internet memiliki kemampuan untuk menghubungkan jarak yang jauh dan mempersingkat waktu komunikasi, media sosial sebagai platform komunikasi secara natural lahir.

Awalnya internet adalah proyek yang didanai oleh DARPA (Defense Advanced Research Projects Agency) pada tahun 1970-an untuk kepentingan militer AS, proyek ini bernama ARPANET (Advanced Research Projects Agency Network) dan dikembangkan oleh beberapa universitas di AS, terutama University of California Los Angeles (UCLA)(Leiner, dkk., 1997). Semenjak tahun 1970, teknologi internet mengalami perkembangan yang signifikan. Perkembangan ini didukung dengan bertambahnya kemampuan processing komputer serta berkembangnya teknologi infrastruktur penunjang internet (seperti data center, kabel bawah laut, dan teknologi satelit).

Perkembangan dari dua teknologi ini menyebabkan lahirnya media sosial yang semakin kompleks, misalnya seperti Friendster, MySpace, Facebook, Twitter, dan lain-lain. Walau begitu, pada masa awal perkembangan media sosial tidak banyak masyarakat di dunia yang menggunakannya. Karena pada tahun 2000-an teknologi komputer serta jasa internet masih terhitung mahal untuk diakses oleh orang kebanyakan (terutama kelas menengah kebawah), sementara teknologi smartphone sebagai akses kepada internet dan media sosial baru benar-benar hadir saat Apple merilis iPhone pada 29 Juni 2007. Namun seiring berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi manufaktur yang efektif, barang-barang elektronik seperti komputer, smartphone, serta jasa internet semakin murah. Sehingga setiap orang mulai bisa mengakses internet dengan mudah dan murah, kemudahan mengakses internet otomatis mempermudah akses ke media sosial.

Kemudahan untuk mengakses media sosial ini membantu masyarakat di dunia - pada awalnya - untuk mencari teman baru dan mempermudah komunikasi dengan orang tersayang. Namun seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai menyadari media sosial dapat digunakan lebih dari sekedar mencari teman baru dan berkomunikasi, misalnya digunakan sebagai media penyampaian informasi oleh media massa dan media untuk berdagang serta promosi oleh para pengusaha. Hal ini disebabkan karena seiring dengan bertambahnya pengguna internet, maka potensi internet untuk dikomersilkan semakin besar. Namun layaknya hal yang ada di dunia, selalu ada oposisi biner dari segala hal, termasuk internet. Oposisi biner yang dimaksud adalah, jika internet dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif - seperti yang dijelaskan diatas - maka internet juga dapat digunakan untuk hal-hal yang negatif.

Misalnya saja penyebaran hoaks, kebencian rasial, dan ideologi teror melalui media sosial dan internet. Hal-hal negatif ini lumrah kita jumpai saat sedang berselancar di internet, lalu mengapa masyarakat internet (netizen) dapat menuliskan tulisan yang bernada kebencian? Padahal saat sedang menjadi warga negara (citizen) di dunia nyata, seseorang biasanya berperilaku baik dan bertutur kata yang sopan. Hal ini dianggap oleh peneliti sosial sebagai dampak dari anonimitas yang ditawarkan oleh internet, karena saat seseorang sedang menjadi citizen orang tersebut terikat dengan norma sosial.

Anonimitas menawarkan suatu kebebasan dari norma sosial tersebut, hal natural yang akan terjadi selanjutnya saat seseorang menyadari bahwa dirinya sedang dalam keadaan anonim adalah kecenderungan untuk menunjukkan sifat agresif dan kasar (Zimbardo, 1969). Walau anonimitas di internet memiliki kecenderungan untuk membuat seseorang berlaku agresif dan kasar, anonimitas saja tidak cukup untuk membuat seseorang berlaku agresif di dunia nyata. Sementara kita menyaksikan di media massa kekerasan yang disebabkan akibat penggunaan media sosial seperti perekrutan teroris maupun penembakan yang dilatari kebencian sosial (seperti penembakan di christchurch).

Untuk sampai pada tingkat kekerasan seperti itu, anonimitas saja tidak cukup. Karena anonimitas hanya menawarkan kesempatan untuk "mengekspresikan" diri, sehingga tidak serta merta seseorang yang mengeluarkan argumen kebencian - misalnya ajakan untuk membunuh orang kafir - akan melakukannya di dunia nyata. Disinilah kamar gema memainkan perannya, kamar gema (echo chamber) adalah sebuah situasi dimana seseorang berada pada lingkungan grup sosial yang memilik kesamaan yang sama dengan dirinya sehingga orang yang bersangkutan dapat mendengar suaranya sendiri (Garimella, dkk., 2018).

Kamar gema dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah kamar (grup yang ada di media sosial) dan gema (fitur share yang tersedia di media sosial) karena dua fitur ini maka seseorang akan terus ter-ekspos dengan informasi yang satu pemikiran dengannya. Kedua hal ini memudahkan pergeseran nilai yang dipegang oleh individu ke kutub yang lebih ekstrem. Alih-alih menjadi kanal informasi yang luas dan beragam, internet bisa menjadi kamar gema tempat individu sepemikirian berkumpul, mempersempit pandangan dan mengamplifikasi ideologi ke ranah ekstrem yang menjustifikasi kekerasan (Imaduddin, 2016).

Efek kamar gema bisa terjadi dalam semua bidang, contohnya pada pemilu Indonesia tahun 2019. Pada pemilu tahun 2019 ini, kita menyaksikan bahwa efek kamar gema ini di eksploitasi oleh para buzzer politik. Karena pada pilpres 2019, kedua capres membawa image yang berbeda. Capres no. 01 membawa image sebagai presiden yang merakyat, nasionalis, dan menggandeng ormas/partai yang mengedepankan islam nusantara. Sementara capres no. 02 membawa image seorang mesiah (juru selamat) yang patriotis, ia beranggapan bahwa Indonesia sedang dalam kondisi yang berbahaya.

Pihak 02 juga menggandeng ormas/partai beraliran islam islam konservatif. Para buzzer kemudian membuat berita hoaks dengan berdasarkan perbedaan ini, berita yang dikeluarkan oleh buzzer politik ini telah disusun sedimikian rupa agar dapat masuk kedalam kamar gema yang spesifik -- biasanya ditujukan kepada kamar gema pendukung capres tertentu. Berita yang di desain untuk masuk kedalam kamar bertujuan untuk memelihara loyalitas kepada capres dan memprovokasi agar membenci capres yang lain. Biasanya tema yang dibawa dalam berita karangan buzzer adalah agama, karena tema yang dibawa memiliki nilai primordial, maka polarisasi di masyakat tidak terhindarkan. Karena masyarakat pendukung kedua capres beranggapan capres pilihan mereka adalah pilihan Tuhan dan tugas mereka adalah memenangkan capres yang bersangkutan.

Polarisasi yang terjadi pada tahun 2019 - menurut saya - adalah blunder pemerintah Indonesia dalam menangani kamar-kamar gema yang tersebar di Media Sosial. Seharusnya pemerintah sebagai institusi negara yang berkewajiban untuk menjaga keamanan negara, lebih proaktif untuk mengawasi dan menindak  kamar-kamar gema yang ada. Misalnya dengan membuat narasi tandingan yang berisi konten persatuan nasional, bhinneka tunggal ika, dll. Narasi tandingan ini penting untuk menciptakan keberimbangan informasi di media sosial, atau bahkan mungkin bisa menenggelamkan suara-suara bernada kekerasan di internet. Selain pemerintah, kita sebagai pengguna internet juga harus memiliki kemampuan literasi digital agar bisa mengidentifikasi mana konten yang negatif dan mana yang positif, ini harus dilakukan agar kita tidak menambah gema-gema negatif yang ada di internet dan media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun