Mohon tunggu...
luthfi mutaali
luthfi mutaali Mohon Tunggu... pembelajar/dosen/peneliti/konsultan

saya meminati bidang pembangunan wilayah, tata ruang, ekonomi regional dan perencanaan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PENAMBAHAN DANA TRANSFER KE DAERAH (TKD). Peluang dan Tantangan Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Daerah

15 September 2025   10:51 Diperbarui: 15 September 2025   10:58 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://share.google/images/cFQYheumanuNMtqBE

Kabar mengenai potensi penambahan alokasi Transfer ke Daerah (TKD) pada tahun 2026 oleh Menteri Keuangan yang baru, seperti yang diberitakan oleh DDTC News (2025), merupakan sinyal positif yang patut disambut gembira oleh pemerintah daerah se-Indonesia. Mengingat sebagian besar fiskal daerah sangat bergantung pada dana transfer dari pusat, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), kebijakan ini berpotensi besar menjadi katalisator penting bagi akselerasi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal, sebuah aspirasi yang sangat relevan mengingat sebagian besar fiskal daerah memang berasal dari pusat. Namun, euforia ini tidak boleh mengaburkan catatan kritis bahwa optimalisasi peran fiskal daerah dalam menggerakkan ekonomi tidak hanya bergantung pada besaran anggaran yang diterima, tetapi juga pada efektivitas dan efisiensi pengelolaannya, terutama dalam menghadapi realitas tingginya biaya rutin yang seringkali membatasi ruang gerak belanja modal yang produktif.

Secara umum, fiskal daerah merujuk pada keseluruhan hak dan kewajiban pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik daerah sehubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Mardiasmo, 2018). Dalam konteks Indonesia, desentralisasi fiskal yang diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Daerah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangannya sendiri, namun realitasnya, kemandirian fiskal daerah masih menjadi tantangan signifikan. Data menunjukkan bahwa porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam total pendapatan daerah masih relatif kecil dibandingkan dengan porsi dana transfer dari pusat (Kementerian Keuangan, berbagai laporan APBN/APBD), yang menegaskan betapa sentral peran dana transfer pusat dalam membiayai pembangunan dan pelayanan publik di daerah. Penelitian oleh Budi Santoso (2020) dalam jurnal Jurnal Ekonomi Pembangunan mengindikasikan bahwa daerah dengan ketergantungan tinggi pada dana transfer cenderung memiliki volatilitas anggaran yang lebih besar ketika terjadi perubahan kebijakan fiskal pusat, yang dapat mengganggu konsistensi program pembangunan jangka panjang.

Postur pendapatan daerah di Indonesia secara umum terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana transfer dari pemerintah pusat (termasuk DAU, DAK, dan Dana Bagi Hasil), serta lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sementara itu, belanja daerah terbagi menjadi belanja operasional (rutin) yang mencakup belanja pegawai, barang, dan jasa, serta belanja modal yang dialokasikan untuk investasi aset jangka panjang seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Permasalahan klasik yang sering dihadapi daerah adalah dominasi belanja rutin yang memakan porsi anggaran yang besar, menyisakan sedikit ruang untuk belanja modal yang memiliki dampak multiplikatif terhadap pertumbuhan ekonomi (Halim, 2019). Misalnya, tingginya belanja pegawai akibat rekrutmen yang tidak terkendali atau tunjangan yang membengkak dapat mengorbankan alokasi untuk pembangunan infrastruktur yang esensial bagi daya saing ekonomi daerah. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) secara konsisten menunjukkan bahwa alokasi belanja modal di banyak daerah masih belum optimal dalam mendukung sektor-sektor penggerak pertumbuhan ekonomi lokal.

Peluang untuk mengoptimalkan peran fiskal daerah dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah sangatlah besar, terutama jika didukung oleh kebijakan yang tepat dari pemerintah pusat. Peningkatan TKD yang diwacanakan Menkeu Purbaya dapat menjadi momentum untuk memperluas cakupan pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui anggaran pendidikan dan kesehatan yang lebih memadai, serta mendorong sektor-sektor ekonomi unggulan daerah. Namun, tantangan utama yang harus diatasi adalah bagaimana memastikan bahwa tambahan anggaran tersebut terserap secara efektif dan efisien, serta tepat sasaran. Masalah klasik seperti lemahnya kapasitas perencanaan dan penganggaran daerah, prosedur pengadaan barang dan jasa yang berbelit, serta masalah koordinasi antar unit kerja di pemerintah daerah seringkali menjadi hambatan serius dalam pemercepatan serapan anggaran (Suryana, 2021). Selain itu, praktik korupsi dan penyalahgunaan anggaran juga masih menjadi ancaman yang dapat menggerogoti efektivitas belanja daerah, serta fenomena carry-over anggaran dari tahun sebelumnya yang masih tinggi di banyak daerah juga menunjukkan adanya inefisiensi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program.

Menyikapi potensi peningkatan TKD, pemerintah daerah perlu segera merumuskan strategi yang berfokus pada inovasi perolehan pendapatan daerah dan maksimalisasi belanja modal untuk kepentingan publik. Pertama, dalam hal inovasi pendapatan daerah, pemerintah daerah harus lebih proaktif dalam menggali potensi PAD melalui reformasi sistem pajak dan retribusi daerah yang lebih adil dan efisien, serta pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan cakupan dan kepatuhan wajib pajak. Eksplorasi sumber-sumber PAD baru, seperti optimalisasi aset daerah yang menganggur, pengembangan usaha milik daerah yang produktif, serta peningkatan retribusi jasa umum dan khusus, perlu menjadi prioritas (Prakoso, 2022). Selain itu, sinergi dengan pemerintah pusat dalam mengembangkan potensi ekonomi berbasis sumber daya alam atau industri kreatif juga dapat membuka peluang pendapatan baru. Kedua, maksimalisasi belanja modal untuk kepentingan publik adalah kunci untuk menerjemahkan peningkatan TKD menjadi pertumbuhan ekonomi yang nyata. Strategi pemercepatan serapan anggaran belanja modal harus dimulai dari perbaikan proses perencanaan yang lebih matang dan realistis, termasuk identifikasi kebutuhan infrastruktur prioritas yang selaras dengan rencana strategis daerah dan nasional. Pemerintah daerah perlu melakukan reformasi dalam sistem pengadaan barang dan jasa untuk mempercepat proses lelang dan eksekusi proyek tanpa mengorbankan prinsip akuntabilitas dan transparansi, misalnya dengan pemanfaatan platform digital yang terintegrasi. Pendekatan output-based budgeting atau penganggaran berbasis kinerja dapat mendorong efisiensi alokasi anggaran belanja modal agar lebih berorientasi pada capaian fisik dan manfaat publik. Pemberdayaan masyarakat lokal melalui pelibatan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek infrastruktur juga dapat meningkatkan rasa kepemilikan dan efektivitas program, seperti yang diindikasikan oleh penelitian tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan pedesaan oleh Nugroho (2019).

Kebijakan Kementerian Keuangan yang mengkaji penambahan TKD pada tahun 2026 perlu direspons dengan kesiapan yang matang oleh pemerintah daerah. Ini bukan hanya soal menerima lebih banyak dana, tetapi bagaimana dana tersebut dapat dikelola dengan strategi pemercepatan serapan anggaran yang efektif untuk mendorong roda perekonomian daerah. Fokus pada inovasi pendapatan daerah dan kemitraan yang kuat dengan pelaku usaha dan masyarakat, serta komitmen teguh pada transparansi dan akuntabilitas dalam setiap penggunaan anggaran, akan menjadi penentu keberhasilan fiskal daerah dalam menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi lokal. Jika pemerintah daerah mampu merespons momentum ini dengan strategi yang tepat, peningkatan TKD bukan hanya sekadar tambahan anggaran, melainkan fondasi kokoh untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi daerah yang berkelanjutan dan inklusif. Oleh karena itu, beberapa usulan kebijakan strategis perlu segera diimplementasikan: pertama, reformasi perencanaan dan penganggaran dengan menerapkan perencanaan yang lebih realistis dan berbasis kebutuhan riil, serta menyederhanakan prosedur penganggaran untuk mempercepat proses penetapan APBD dan realisasi program; kedua, inovasi pendapatan daerah dengan menggali potensi PAD secara maksimal melalui reformasi perpajakan daerah, pemanfaatan aset daerah, dan pengembangan usaha milik daerah yang efisien dan produktif; ketiga, akselerasi belanja modal dengan mempercepat proses lelang dan eksekusi proyek infrastruktur melalui pemanfaatan teknologi digital dan penyederhanaan regulasi pengadaan, dengan fokus pada proyek yang memiliki dampak ekonomi multiplikatif dan manfaat publik luas; keempat, peningkatan kapasitas SDM dengan melakukan pelatihan dan pengembangan kapasitas aparatur sipil negara (ASN) di daerah dalam bidang perencanaan, penganggaran, serta manajemen keuangan publik; dan kelima, penguatan sistem pengawasan dan akuntabilitas dengan memperkuat mekanisme pengawasan internal dan eksternal untuk mencegah penyalahgunaan anggaran dan memastikan akuntabilitas penggunaan dana publik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun