Tulisan ke 2, Â Supply Chain Manajemen
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki tantangan intrinsik dalam memastikan ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan pokok (sembako) bagi seluruh penduduknya. Wilayah kepulauan seperti Kepulauan Riau dan Maluku, yang terdiri dari ribuan pulau dengan keterbatasan konektivitas, transportasi, aksesibilitas, dan rantai distribusi, menjadi studi kasus yang sangat relevan untuk memahami kompleksitas supply chain geography komoditas sembako. Mayoritas wilayah kepulauan ini bukan produsen sembako, melainkan konsumen setia yang sangat bergantung pada pasokan dari luar, sehingga menciptakan kesenjangan harga yang signifikan dan berdampak luas pada pembangunan daerah serta kesejahteraan masyarakat.
Sistem distribusi sembako di wilayah kepulauan dicirikan oleh serangkaian kendala geografis dan logistik yang inheren. Pertama, fragmentasi geografis. Ribuan pulau dengan jarak yang terbentang luas, dipisahkan oleh lautan, membuat transportasi menjadi sangat mahal dan memakan waktu. Di Kepulauan Riau, meskipun beberapa pulau utama seperti Batam dan Tanjung Pinang memiliki konektivitas yang relatif baik, pulau-pulau kecil di sekitarnya menghadapi tantangan distribusi yang lebih besar. Demikian pula di Maluku, dengan gugusan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, distribusi sembako ke pulau-pulau terpencil seperti di Kabupaten Kepulauan Aru atau Maluku Barat Daya membutuhkan perencanaan logistik yang sangat matang dan biaya tinggi. Laporan dari Kementerian Perdagangan (2023) dan berbagai kajian independen seringkali mencatat tingginya biaya transportasi laut sebagai komponen utama pembentuk harga sembako di daerah kepulauan.
Kendala transportasi dan aksesibilitas menjadi hambatan terbesar. Ketergantungan pada transportasi laut, baik menggunakan kapal feri, kapal barang, maupun kapal nelayan, seringkali menghadapi ketidakpastian jadwal akibat faktor cuaca, ketersediaan armada, dan biaya operasional yang tinggi. Di banyak pulau kecil, tidak ada pelabuhan yang memadai, sehingga kapal harus melakukan bongkar muat di tengah laut atau di pantai, yang menambah biaya dan risiko kerusakan barang. Keterbatasan infrastruktur pendukung seperti gudang penyimpanan yang memadai di pulau-pulau tujuan juga memperburuk efisiensi rantai distribusi. Sebagai contoh, penelitian oleh (Prasetyo & Handayani, 2022) mengenai logistik pangan di Maluku Utara menyoroti bahwa biaya pengiriman satu kilogram beras dari Ternate ke pulau terpencil bisa mencapai beberapa kali lipat dari harga beras itu sendiri.
Akibat dari kendala-kendala ini, efisiensi rantai distribusi menjadi sangat rendah. Setiap tahapan dalam rantai pasok, mulai dari pengiriman dari pusat distribusi di pulau besar, pemindahan ke kapal yang lebih kecil untuk menjangkau pulau-pulau terluar, hingga distribusi dari pelabuhan ke pasar lokal, semuanya menambah biaya. Rantai distribusi yang panjang dan melibatkan banyak perantara juga seringkali menyebabkan harga jual sembako di daerah kepulauan menjadi jauh lebih mahal dibandingkan di daerah produsen atau pusat distribusi utama. Misalnya, harga beras, minyak goreng, gula, dan telur di pulau-pulau terpencil di Kepulauan Riau atau Maluku bisa mencapai 50-100% lebih tinggi dari harga di Jawa atau kota besar seperti Batam atau Ambon.
Implikasi dari ketimpangan harga produk sembako ini sangat signifikan bagi pembangunan dan masyarakat di wilayah kepulauan. Pertama, dampak terhadap kesejahteraan masyarakat. Tingginya harga kebutuhan pokok secara langsung menggerus daya beli masyarakat, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Hal ini dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan ketidaksetaraan akses terhadap kebutuhan dasar. Anak-anak di daerah kepulauan mungkin mengalami masalah gizi karena keterbatasan akses terhadap makanan bergizi akibat tingginya harga. Kedua, hambatan pembangunan ekonomi daerah. Kenaikan biaya operasional bagi pelaku usaha lokal, baik di sektor pertanian, perikanan, maupun jasa, akibat tingginya harga sembako, dapat menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. Biaya hidup yang tinggi juga dapat mengurangi minat investor dan tenaga kerja terampil untuk datang dan berinvestasi di wilayah kepulauan. Ketiga, ketidakstabilan pasokan. Ketergantungan yang tinggi pada pasokan dari luar dan kerentanan rantai distribusi membuat daerah kepulauan rentan terhadap kelangkaan pasokan jika terjadi gangguan transportasi atau kenaikan harga yang drastis.
Melihat kompleksitas ini, diperlukan kebijakan yang tepat dan strategis untuk mengatasi problem distribusi sembako di wilayah kepulauan. Kebijakan yang selama ini dijalankan, seperti subsidi ongkos angkut, seringkali belum cukup efektif karena belum menyentuh akar masalah struktural dan belum terintegrasi dengan baik. Untuk mengatasi kompleksitas distribusi sembako di wilayah kepulauan, diperlukan pendekatan kebijakan yang terintegrasi dan komprehensif. Pertama, pembangunan dan perbaikan infrastruktur logistik maritim, termasuk pelabuhan pulau kecil dan fasilitas penyimpanan, sangat krusial untuk meningkatkan konektivitas dan efisiensi bongkar muat. Kedua, implementasi subsidi biaya transportasi yang lebih cerdas dan tepat sasaran, mungkin melalui skema PSO atau subsidi langsung kepada operator yang melayani rute terpencil, dapat memastikan keterjangkauan layanan. Ketiga, penguatan rantai pasok lokal dan diversifikasi sumber pangan perlu didorong, dengan fokus pada pengembangan produksi pertanian dan perikanan yang sesuai kondisi daerah, serta menjajaki potensi pasokan dari sumber yang lebih dekat. Keempat, pemanfaatan teknologi informasi dalam manajemen rantai pasok, seperti sistem pelacakan dan platform logistik digital, dapat meningkatkan efisiensi, transparansi, dan prediktabilitas distribusi. Kelima, pembentukan hub logistik regional di pulau-pulau strategis dapat memusatkan distribusi dan mengurangi biaya pengiriman ke pulau-pulau yang lebih kecil, menciptakan sistem yang lebih efisien dan terjangkau bagi masyarakat kepulauan.
Sebagai penutup, tinjauan supply chain geography komoditas sembako di Kepulauan Riau dan Maluku menegaskan bahwa tantangan distribusi di wilayah kepulauan bukan sekadar soal logistik, melainkan isu fundamental yang menyangkut keadilan ekonomi dan pembangunan. Kebijakan yang tepat harus berfokus pada pembangunan infrastruktur maritim, subsidi yang cerdas, penguatan rantai pasok lokal, serta pemanfaatan teknologi untuk menciptakan sistem distribusi sembako yang lebih efisien, terjangkau, dan adil bagi seluruh masyarakat kepulauan Indonesia. Tanpa intervensi kebijakan yang komprehensif dan berkelanjutan, disparitas harga sembako akan terus menjadi momok yang menghambat kesejahteraan dan kemajuan daerah-daerah maritim Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI