Kasus kemacetan yang kerap melanda Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, bukan sekadar masalah operasional pelabuhan semata, melainkan sebuah cermin nyata dari kegagalan dalam mengelola kompleksitas supply chain geography di Indonesia. Fenomena ini, yang secara konsisten mengganggu arus barang dan mobilitas pariwisata menuju Bali, menawarkan pelajaran berharga bagi kita untuk memahami bagaimana geografi, infrastruktur, dan efisiensi rantai pasok saling terkait dan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat. Sebagai seorang akademisi yang mendalami supply chain management dengan penekanan pada sistem rantai pasar dan supply chain geography, saya melihat bahwa akar persoalan ini bukanlah hal baru, melainkan akumulasi dari kebijakan yang kurang komprehensif dan minimnya antisipasi terhadap dinamika geografis serta ekonomi yang melingkupinya. Berulang kalinya kejadian serupa, seperti yang diberitakan oleh Kompas.id (2023) mengenai kemacetan panjang yang berujung pada kerugian ekonomi, menegaskan adanya structural deficiency dalam pengelolaan konektivitas antarwilayah yang sangat bergantung pada satu titik gerbang logistik vital.
Dari perspektif supply chain geography, Pelabuhan Ketapang berfungsi sebagai bottleneck (titik sumbat) krusial yang menghubungkan Jawa Timur dengan Bali, dua pulau dengan peran strategis dalam perekonomian nasional. Jawa Timur, sebagai pusat produksi pertanian dan industri, menjadi sumber pasokan utama bagi kebutuhan konsumsi dan pariwisata Bali. Sebaliknya, Bali, sebagai destinasi pariwisata global, membutuhkan pasokan barang yang stabil dan berkualitas untuk menopang sektor unggulannya. Kemacetan di Ketapang menciptakan disrupsi serius pada kedua arah rantai pasok ini. Bagi produsen di Jawa Timur, penundaan pengiriman berarti peningkatan biaya operasional akibat waktu tunggu kendaraan yang lama, potensi kerusakan produk (terutama produk segar), dan kehilangan peluang pasar. Ini secara langsung menggerus profitabilitas mereka, sebuah efek negatif yang dikuantifikasi oleh berbagai kajian dampak logistik (Nugroho & Widayati, 2021). Di sisi konsumen, terutama di Bali, kemacetan ini berujung pada kenaikan harga barang akibat biaya logistik yang membengkak. Ketersediaan produk yang tidak pasti juga dapat mengganggu stabilitas pasokan, yang pada akhirnya dapat memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Lebih jauh lagi, sektor pariwisata Bali, yang menjadi tulang punggung perekonomian pulau tersebut, sangat rentan terhadap hambatan logistik. Turis yang datang dari Jawa melalui jalur darat dapat mengalami penundaan yang signifikan, menciptakan pengalaman negatif yang dapat berujung pada penurunan minat kunjungan di masa mendatang, sebagaimana diungkapkan dalam analisis dampak ekonomi pada pariwisata (Smith, 2019).
Implikasi dari kemacetan yang berulang ini terhadap pembangunan kabupaten/kota di Provinsi Bali menjadi perhatian serius. Bali, dengan ketergantungannya pada pasokan dari luar pulau, mengalami dampak ganda. Pertama, terhambatnya rantai pasok barang kebutuhan pokok dan material pembangunan akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi lokal. Kenaikan ongkos logistik akan menambah beban anggaran bagi pemerintah daerah dalam pengadaan barang dan jasa, serta meningkatkan biaya investasi bagi pelaku usaha di Bali. Kedua, ketidakpastian pasokan dapat mengganggu stabilitas harga dan ketersediaan barang, yang secara langsung memengaruhi kualitas hidup masyarakat Bali, termasuk ketersediaan pangan, obat-obatan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Dari sisi pariwisata, meskipun Bali memiliki bandara internasional, kelancaran arus barang dan jasa pendukung pariwisata (seperti makanan, minuman, dan bahan bakar) yang melalui Ketapang tetap krusial. Ketidakmampuan mengatasi kemacetan di gerbang utama ini secara tidak langsung mencerminkan kurangnya daya saing Bali dalam konteks logistik regional, yang dapat mereduksi daya tarik pulau ini sebagai destinasi investasi dan destinasi pariwisata yang efisien.
Yang sangat disayangkan adalah fakta bahwa pemerintah kerap kali tidak mengambil langkah-langkah yang tepat dan menyeluruh untuk mengatasi masalah ini, padahal kasus serupa terus berulang. Kebijakan yang cenderung bersifat reaktif ketimbang proaktif, seperti penambahan kapal sesaat sebelum puncak arus mudik atau penundaan jam operasional pelabuhan, hanya bersifat sementara dan tidak menyentuh akar masalah struktural. Padahal, dari sudut pandang supply chain geography, solusi seharusnya bersifat holistik dan terintegrasi. Analisis geografis menunjukkan bahwa ketergantungan yang sangat tinggi pada satu titik pelabuhan untuk melayani volume lalu lintas yang terus meningkat adalah sebuah kerentanan yang inheren. Keterbatasan infrastruktur di pelabuhan itu sendiri, seperti kapasitas dermaga, area parkir, dan sistem bongkar muat, menjadi bottleneck yang diperparah oleh pola kedatangan kapal dan kendaraan yang tidak teratur. Penelitian oleh (Santoso & Prasetyo, 2020) mengindikasikan bahwa manajemen antrean kendaraan yang buruk dan minimnya koordinasi antara operator pelabuhan, perusahaan pelayaran, dan instansi terkait menjadi faktor utama penyebab kemacetan. Selain itu, kurangnya alternatif jalur logistik yang memadai, baik dari sisi darat maupun laut, semakin memperparah situasi ini.
Untuk mengatasi persoalan ini secara berkelanjutan dan memberikan pelajaran nyata dalam supply chain geography, diperlukan sebuah paradigm shift dalam pengelolaan logistik nasional, khususnya yang menghubungkan Jawa dan Bali. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis yang bersifat struktural dan terintegrasi. Pertama, diversifikasi dan optimalisasi jalur logistik. Selain Pelabuhan Ketapang, perlu dijajaki dan dikembangkan potensi pelabuhan lain di Jawa Timur yang dapat menjadi alternatif untuk melayani arus barang ke Bali, misalnya pelabuhan di wilayah Banyuwangi bagian utara atau pelabuhan di Jember yang memiliki potensi pengembangan. Peningkatan konektivitas darat menuju pelabuhan-pelabuhan alternatif ini juga mutlak diperlukan. Kedua, investasi pada infrastruktur pelabuhan yang memadai. Kapasitas Pelabuhan Ketapang perlu ditingkatkan secara signifikan, mulai dari penambahan dermaga, perluasan area parkir kendaraan, hingga modernisasi sistem bongkar muat dan manajemen lalu lintas. Penerapan teknologi informasi untuk smart port management, seperti sistem pemesanan tiket online terintegrasi dan sistem identifikasi kendaraan otomatis, harus diimplementasikan secara serius untuk meminimalkan antrean dan meningkatkan efisiensi operasional. Ketiga, penguatan koordinasi dan kolaborasi antarpihak. Dibutuhkan sinergi yang kuat antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, pemerintah daerah Jawa Timur dan Bali, operator pelabuhan, perusahaan pelayaran, serta asosiasi pengusaha logistik untuk menciptakan sistem rantai pasok yang efisien dan terprediksi. Pembentukan forum koordinasi yang permanen dan berwenang untuk mengevaluasi serta merumuskan solusi berbasis data sangat krusial. Keempat, pengembangan transportasi multimoda. Mendorong penggunaan moda transportasi kereta api untuk pengangkutan barang jarak jauh ke pelabuhan, serta pengembangan angkutan laut yang lebih efisien, dapat mengurangi beban lalu lintas darat dan kemacetan di pelabuhan. Terakhir, studi komprehensif supply chain geography. Pemerintah perlu melakukan kajian mendalam mengenai supply chain geography secara keseluruhan, termasuk pemetaan arus barang, identifikasi titik-titik rentan, dan analisis biaya logistik di seluruh wilayah yang terhubung dengan Bali. Hasil kajian ini harus menjadi dasar perumusan kebijakan jangka panjang yang berkelanjutan.
Kesimpulannya, kemacetan di Pelabuhan Ketapang adalah sebuah kasus pembelajaran supply chain geography yang membuktikan bahwa kelancaran aliran barang dan jasa merupakan fondasi penting bagi pertumbuhan ekonomi dan stabilisasi sosial. Kegagalan dalam mengatasi masalah ini secara struktural tidak hanya merugikan produsen dan konsumen, tetapi juga menghambat potensi pembangunan ekonomi Bali dan daerah sekitarnya. Diperlukan kebijakan transformatif yang berorientasi pada diversifikasi jalur logistik, peningkatan kapasitas infrastruktur pelabuhan, penguatan koordinasi lintas sektor, dan adopsi teknologi digital dalam manajemen rantai pasok. Tanpa langkah-langkah yang komprehensif dan berkelanjutan, kasus kemacetan di Ketapang akan terus berulang, menjadi pengingat akan pentingnya memandang logistik bukan hanya sebagai urusan teknis, melainkan sebagai elemen strategis dalam tata ruang dan pembangunan ekonomi nasional yang memanfaatkan keunggulan geografis secara optimal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI