Mohon tunggu...
luthfi mutaali
luthfi mutaali Mohon Tunggu... pembelajar/dosen/peneliti/konsultan

saya meminati bidang pembangunan wilayah, tata ruang, ekonomi regional dan perencanaan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

MASIHKAH PANCASILA SAKTI. Menelaah relevansi ideologi Pancasila di era Desrupsi

1 Juni 2025   06:40 Diperbarui: 1 Juni 2025   06:40 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/RXCzJ6oFnsNMbVoUA

Hari ini upacara Hari Kelahiran Pancasila (1 Juni 2025). Di tengah gejolak perubahan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan akibat era disrupsi saat ini, pertanyaan mengenai relevansi Pancasila---sebagai dasar negara Indonesia---menjadi semakin mendesak. Dengan kemajuan teknologi, munculnya globalisasi, serta tantangan sosial yang semakin kompleks, Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara dihadapkan pada situasi yang tidak mudah. Berdasarkan pemikiran Soekarno (1945), Pancasila dirancang untuk menjadi fondasi bagi identitas dan keutuhan bangsa. Namun, realitas saat ini menunjukkan adanya kesenjangan antara nilai-nilai ideologis Pancasila dan penerapannya dalam masyarakat. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menganalisis relevansi Pancasila di tengah fenomena global yang terus berkembang dan memberikan rekomendasi kebijakan yang mendukung penguatan ideologi ini.

Secara ideologis, Pancasila menawarkan kerangka nilai yang luas dan mendalam, mencakup Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Nilai-nilai ini seharusnya menjadi panduan bagi setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara (Notonagoro, 1975). Namun, tantangan penerapannya kian nyata dalam konteks sosial dan politik. Misalnya, sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, seringkali dihadapkan pada eskalasi intoleransi dan radikalisme yang merusak persatuan bangsa, sebagaimana dilaporkan oleh Wahid Institute (2020). Selain itu, pelanggaran terhadap prinsip kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, masih terjadi di lapangan. Data dari Human Rights Watch (2021) menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan marjinal masih meluas, sehingga menciptakan ketidakadilan sosial dan merusak integrasi masyarakat.

Dalam konteks sosial, fungsi Pancasila sebagai lem perekat keberagaman terlihat semakin melemah akibat polarisasi politik yang meningkat. Konflik identitas dan penyebaran berita bohong (hoaks) melalui media sosial telah memperburuk situasi, mengancam persatuan masyarakat Indonesia (Surbakti, 2018). Misalnya, peristiwa pemecahan belah antar kelompok selama pemilihan umum menunjukkan betapa akutnya masalah ini. Selain itu, dalam bidang ekonomi, nilai-nilai keadilan sosial dalam Pancasila mestinya mendorong pemerataan hasil pembangunan. Namun, berbagai laporan, termasuk dari Transparency International (2022), menunjukkan bahwa praktik korupsi dan kesenjangan ekonomi yang kian melebar telah menghambat pencapaian tujuan tersebut. Sila keempat, yang berbicara tentang Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, tidak tercermin dalam kenyataan di mana partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan sering kali tereduksi oleh praktik oligarki dan lemahnya akuntabilitas pemerintah (Ramage, 2017).

Dalam mengatasi tantangan ini, sudah saatnya kita meneliti dan melakukan evaluasi terhadap konsep pendidikan Pancasila di kalangan generasi muda. Kurangnya pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai Pancasila di masyarakat, terutama di kalangan anak muda, berpotensi mengancam relevansi ideologi ini ke depan. Laporan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (2023) menunjukkan bahwa pendidikan Pancasila sering kali dianggap tidak menarik dan kurang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan kurikulum yang menekankan pada praktik konkret nilai-nilai Pancasila dalam konteks yang lebih dekat dengan kehidupan mahasiswa, seperti penggalangan komunitas berbasis integrasi sosial dan proyek-proyek yang mengekspresikan keberagaman budaya.

Reformasi dalam penegakan hukum juga sangat dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap negara. Penegakan hukum yang adil dan konsisten dapat menjadi alat yang efektif untuk mendukung nilai-nilai Pancasila, khususnya dalam konteks Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini termasuk penerapan hukum yang transparan dan akuntabel, serta penguatan lembaga yang menangani keadilan, sehingga masyarakat merasa memiliki akses yang lebih besar terhadap keadilan. Menurut laporan World Justice Project (2022), transparansi dalam sistem hukum merupakan salah satu faktor kunci dalam menciptakan kepercayaan dan stabilitas sosial di negara mana pun. Reformasi perlu diarahkan pada penguatan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan meningkatkan akuntabilitas pejabat publik.

Dalam konteks implementasi Pancasila yang lebih luas, pemerintah harus melihat potensi kolaborasi dengan berbagai unsur masyarakat, termasuk sektor swasta dan LSM, dalam mempromosikan nilai-nilai Pancasila. Membangun kemitraan antar lembaga dapat membuka peluang untuk meningkatkan pemahaman dan penerapan nilai-nilai Pancasila di kalangan masyarakat. Kerjasama ini dapat difokuskan pada inisiatif yang memungkinkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan, dari level lokal hingga nasional. Penelitian menunjukkan bahwa ketika masyarakat dilibatkan dalam proses politik, mereka memiliki rasa kepemilikan yang lebih kuat terhadap keputusan yang diambil, sehingga mampu memperkuat solidaritas dan mempercepat laju pembangunan (Surbakti, 2018).

Merujuk pada tantangan global yang dihadapi Indonesia, termasuk di dalamnya pengaruh ideologi asing yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, reinterpretasi ideologi ini menjadi sangat penting. Pancasila harus bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman dan tantangan kontemporer, sambil tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasarnya. Beberapa akademisi berpendapat bahwa reinterpretasi Pancasila yang inklusif---yang dapat menjawab isu-isu kontemporer seperti keberagaman gender, sikap inklusif terhadap etnis minoritas, dan hak asasi manusia---dapat memperkuat identitas nasional (Wahid Institute, 2020). Penerapan nilai-nilai Pancasila yang terus menerus, disertai dengan pembaruan pemahaman ideologis, dapat menciptakan rasa persatuan yang lebih kuat di antara masyarakat.

Dengan mempertimbangkan semua pembahasan di atas, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa pertanyaan "Masihkah Pancasila Sakti?" tidak memiliki jawaban yang sederhana. Pancasila tetap relevan sebagai ideologi dan dasar negara, namun 'kesaktiannya' bergantung pada pemahaman dan pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, usulan kebijakan yang harus diambil mencakup penguatan pendidikan Pancasila yang kontekstual, penegakan hukum yang adil dan transparan, peningkatan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, serta reinterpretasi nilai-nilai Pancasila agar semakin relevan dengan tantangan zaman. Dengan mengalami transformasi yang dinamis, Pancasila dapat terus menjadi landasan yang kokoh bagi bangsa Indonesia, memperkuat identitas nasional, dan menjawab tantangan di era disrupsi yang kompleks ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun