Mohon tunggu...
luthfi mutaali
luthfi mutaali Mohon Tunggu... pembelajar/dosen/peneliti/konsultan

saya meminati bidang pembangunan wilayah, tata ruang, ekonomi regional dan perencanaan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

ALARM DEPOPULASI PROVINSI DI YOGYAKARTA. Agenda PEMBANGUNAN DAERAH

8 Mei 2025   17:36 Diperbarui: 8 Mei 2025   17:36 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/VH6xfcvQpRPgAwhE7

Dalam literatur demografi, depopulasi didefinisikan sebagai fase ketika suatu wilayah mengalami defisit pertumbuhan alami yang persisten sehingga ukuran populasinya menyusut meski migrasi diabaikan (Coleman & Rowthorn 2004). Secara teoritik, proses ini dipengaruhi empat pilar: menurunnya angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR) di bawah tingkat penggantian 2,1; meningkatnya angka harapan hidup yang mendorong penuaan struktur umur; migrasi keluar bersih yang menggerus kohort usia produktif; dan transisi sosial-ekonomi---urbanisasi, pendidikan tinggi perempuan, biaya perumahan---yang menahan rebound fertilitas (Lutz, Skirbekk & Testa 2020). Depopulasi bukan sekadar "angka mengecil" tetapi perubahan ekologi demografi yang memaksa negara merombak taksonomi kebijakan kesejahteraan, tenaga kerja, hingga tata ruang.

Gelombang pertama depopulasi melanda Eropa Timur, Jepang, dan semenanjung Korea sejak dekade 1990-an. Jepang kehilangan 800 ribu jiwa per tahun sejak 2018; populasi Korea Selatan diproyeksi jatuh di bawah 40 juta pada 2070 karena TFR terendah di dunia (0,72 pada 2023) (UNDESA 2022). Di Eropa, dua puluh negara---dari Portugal sampai Polandia---telah mencatat pertumbuhan negatif, memaksa skema pensiun dinaikkan dan imigrasi tenaga kerja dipermudah (Eurostat 2023). Literatur mutakhir menunjukkan "low-fertility trap": ketika TFR <1,8 selama lebih dari dua dekade, ia cenderung terkunci secara budaya dan ekonomi (Goldstein, Sobotka & Jasilioniene 2009). Dampaknya berlapis: produktivitas nasional melambat, basis pajak menipis, dan inovasi terhambat karena hilangnya tenaga muda (Bloom, Canning & Fink 2011). Kisah ini bukan lagi eksklusif dunia maju; Cina mencatat penurunan populasi pertama pada 2022, sementara Thailand dan Vietnam bersiap memasuki puncak penduduk akhir 2030-an.

Di Indonesia, angka agregat memang masih tumbuh 0,87 % per tahun (BPS 2023). Namun Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah menjadi "laboratorium" depopulasi Nusantara. Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI) 2022 menempatkan TFR DIY di 1,66---terendah nasional dan setara kota-kota ultramajukan Asia Timur. Kombinasi norma "dua anak cukup" yang mengakar, usia kawin pertama perempuan 23,5 tahun, dan biaya hunian tertinggi kedua setelah Jakarta menekan fertilitas ke zona merah. Sejak pandemi, struktur umur yang menua mempercepat defisit alami: catatan Dinas Dukcapil menunjukkan 39 843 bayi lahir pada 2022 berbanding 50 947 kematian, minus 11 104 jiwa---provinsi pertama di negeri ini yang kematiannya melampaui kelahiran. Migrasi mahasiswa dan pensiunan memang masih menambah 11--15 ribu orang per tahun (Arifin 2023), tetapi itu bersifat volatil; tanpa arus itu, populasi DIY sudah memasuki kurva menurun pada 2021.

Fenomena ini tidak tersebar merata. Sleman dan Bantul masih tumbuh tipis karena urban sprawl kampus dan bandara, sementara Gunungkidul serta Kulon Progo menyusut hingga --0,6 % per tahun. Di desa-desa perbukitan Gunungkidul, sekolah dasar mulai digabung karena murid tak sampai sepuluh per kelas (Harian Jogja, 12/3/2024). Statistik Kementerian Kesehatan memproyeksi rasio lansia (60+) DIY melonjak ke 25 % pada 2045---mendekati Jepang hari ini. Implikasinya terukur: beban klaim Jaminan Kesehatan Nasional di wilayah BPJS Kesehatan Yogyakarta sudah tumbuh 14 % per tahun sejak 2018, didorong penyakit kronis usia lanjut (BPJS 2024). Dunia usaha juga mulai merasakan: Asosiasi Pengelola Hotel DIY melaporkan kekurangan 5 000 pekerja pariwisata usia muda pascapandemi karena cohort tenaga kerja baru mengecil dan sebagian hijrah ke Jakarta atau Bali (Tempo, 1/2/2024).

Segala tanda ini memanggil intervensi kebijakan yang tidak parsial. Pertama, narasi kependudukan harus bergeser dari "kendali kelahiran" menjadi "ramah keluarga". Studi Korea (Kim 2021) menunjukkan paket terintegrasi---subsidi biaya penitipan, fleksibilitas kerja, dan ketersediaan rumah terjangkau---lebih efektif menaikkan TFR ketimbang insentif uang tunai semata. DIY dapat memanfaatkan anggaran dana keistimewaan untuk skema "co-living subsidi" bagi pasangan muda, memotong salah satu biaya terbesar pembentukan rumah tangga. Kedua, agenda age-friendly harus digulirkan sekarang, bukan menunggu 2030. Pada kota Stuttgart, Jerman, semua halte bus dirancang landai agar kursi roda mudah naik; intervensi murah ini memotong 11 % klaim cedera lansia (WHO 2020). Jika Kota Yogyakarta---yang 18 % penduduknya sudah 60+---mengadopsi standar serupa, ia bisa menekan belanja kesehatan jutaan rupiah per kapita.

Ketiga, depopulasi tidak otomatis malapetaka. Literatur ekonomi menunjukkan bahwa menyusutnya tenaga kerja bisa diimbangi otomasi cerdas dan peningkatan produktivitas (Acemoglu & Restrepo 2018). Artinya, fokus industri DIY perlu bergeser dari padat kerja---misalnya batik mass-produksi---ke padat pengetahuan seperti teknologi gim, ekonomi kreatif, dan kesehatan digital yang cocok dengan ekosistem kampus. Pemerintah provinsi dapat meniru "Talent Visa" Estonia: memberi izin tinggal tiga tahun bagi talenta global yang mendirikan start-up inovatif. Jika Universitas Gadjah Mada dan ISI dijadikan magnet inkubator internasional, arus migrasi terampil bisa menutup kekurangan anak muda lokal sekaligus menaikkan kualitas pasar kerja.

Keempat, rekonsolidasi layanan publik harus berbasis bukti. Pengalaman Hungaria yang tergesa menutup sekolah desa berujung resistensi sosial dan migrasi keluar tambah besar (Rat & Sk 2019). DIY perlu menerapkan pendekatan "multi-fungsi"---satu gedung sekolah dasar yang ruangnya dipakai siang hari untuk lansia, sore untuk kelas daring perguruan tinggi terbuka. Optimalisasi ini menjaga akses pendidikan sambil menghemat aparatur. Pada saat sama, tenaga pendidik yang berlebih dapat dipindahkan ke program literasi lansia atau tutor daring nasional, sehingga mengubah surplus menjadi aset.

Kelima, dasar data kependudukan mesti diperkuat. Sensus 2020 memotret banyak mahasiswa sebagai penduduk DIY padahal sebagian hanya tinggal sementara; bias ini menggelembungkan proyeksi sampai 90 ribu jiwa menurut evaluasi BPS (2023). Tanpa koreksi, kebijakan infrastruktur dan pangan akan over-supply. Korea Selatan sejak 2015 mewajibkan registrasi penduduk non-residen per 90 hari, menghasilkan akurasi perencanaan plus pajak mahasiswa asing (KOSTAT 2022). DIY dapat memanfaatkan Nomor Induk Kependudukan terintegrasi kampus untuk memetakan lama tinggal mahasiswa, sehingga proyeksi populasi ditopang data real time.

Akhirnya, pesan kunci bagi publik: depopulasi bukan sekadar problem demograf; ia menentukan jalur pembangunan daerah. Tanpa tindakan, Yogyakarta akan menghadapi "double jeopardy": populasi menua sebelum sejahtera penuh. Guru besar ekonomi Harvard, David Bloom (2019), mengingatkan bahwa hilangnya 1 poin pertumbuhan tenaga kerja dapat menekan PDB per kapita sampai 0,7 poin jika tidak diimbangi produktivitas. Namun contoh Finlandia dan Jerman memperlihatkan populasi kecil bisa sejahtera tinggi bila modal manusia prima, teknologi tinggi, dan kebijakan keluarga progresif.

Karenanya, lima rekomendasi berikut penting perlu dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah DIY 2025-2030: 1) transformasi kebijakan keluarga dari kontrasepsi ke kesejahteraan anak, cuti orang tua, rumah terjangkau; 2) percepatan infrastruktur age-friendly dalam transportasi, kesehatan primer, dan perumahan; 3) reposisi struktur ekonomi melalui klaster riset-inovasi berorientasi ekspor; 4) tata kelola sekolah dan fasilitas publik berbasis proyeksi penduduk mikro; 5) sistem registrasi penduduk dinamis untuk menutup celah data migran sementara. Jika lima agenda ini disetujui, DIY berpeluang beralih dari "provinsi tanpa bayi" menjadi model "smart-ageing province" pertama di Indonesia---menunjukkan bahwa jumlah penduduk boleh menyusut, tetapi kualitas hidup tidak harus ikut mengecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun