Hari ini, 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, momen penting yang mengingatkan kita akan perjuangan R.A. Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita, dan pemikirannya masih relevan dalam konteks pembangunan berbasis gender saat ini. Melalui tulisan ini, kita akan mengeksplorasi peran historis Kartini dan wanita lain sepanjang sejarah Indonesia, pentingnya pengarusutamaan gender dalam pembangunan, serta tantangan dan peluang yang dihadapi dalam mewujudkan pembangunan yang inklusif.
R.A. Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Meskipun terlahir di zaman yang patriarkal, Kartini berjuang untuk memperoleh pendidikan dan hak-hak dasar perempuan. Melalui surat-suratnya yang terkenal, Kartini menggambarkan keinginannya untuk meningkatkan status perempuan, termasuk akses terhadap pendidikan yang setara. Pemikiran dan perjuangannya berkontribusi pada penguatan posisi perempuan dalam masyarakat, mengekspresikan harapan akan masa depan yang lebih baik bagi generasi selanjutnya (Kartini, 1911).
Memasuki perkembangan zaman, posisi perempuan dalam masyarakat Indonesia terus mengalami perubahan. Namun, masih banyak tantangan yang dihadapi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja mengalami stagnasi. Pada tahun 2022, angka partisipasi perempuan dalam angkatan kerja hanya mencapai 55,7%, dibandingkan dengan laki-laki yang mencapai 83,3% (BPS, 2022). Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan gender yang signifikan yang perlu diatasi dalam upaya pembangunan.
Salah satu alat untuk mengukur perkembangan kesetaraan gender di Indonesia adalah Indeks Pembangunan Gender (IPG). Berdasarkan data BPS (2022), IPG Indonesia mencapai 0,917, yang menunjukkan peningkatan substansial dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, nilai ini masih di bawah angka ideal 1,0, yang menunjukkan ketidaksetaraan gender yang masih ada. Ketimbang menilai kesetaraan, IPG memuat indikator kesehatan, pendidikan, dan partisipasi ekonomi yang semuanya masih mencerminkan tantangan yang harus dihadapi.
Fakta-fakta ketimpangan gender di Indonesia sangat mencolok. Menurut data BPS (2021), tingkat kematian ibu di Indonesia adalah 305 per 100.000 kelahiran hidup, yang masih jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs) untuk menurunkan angka tersebut menjadi 70 per 100.000 kelahiran hidup. Selain itu, menurut laporan World Economic Forum (2022), Indonesia menempati peringkat 102 dari 146 negara dalam Gender Gap Index, yang menilai kesenjangan gender di berbagai bidang, termasuk kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan politik. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan, ketidakadilan gender masih mengakar kuat.
Pengarusutamaan gender dalam pembangunan bukan hanya penting untuk keadilan sosial, tetapi juga untuk peningkatan kualitas pembangunan itu sendiri. Menurut UN Women (2020), pembangunan yang inklusif dapat meningkatkan produktivitas, mengurangi kemiskinan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan melibatkan perempuan dalam semua aspek pembangunan, mulai dari pengambilan keputusan hingga implementasi program-program pembangunan, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih seimbang.
Namun, kendala yang dihadapi dalam pengarusutamaan gender sangat beragam. Pertama, masih terdapat stereotip gender yang kuat di masyarakat. Stereotip ini sering kali menghalangi perempuan dalam mengambil peran aktif di ruang publik dan dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, akses perempuan terhadap pendidikan dan pelatihan masih terbatas, terutama di wilayah rural. Menurut penelitian oleh World Bank (2021), pendidikan yang berkualitas dan keterampilan yang relevan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan perempuan agar dapat berkontribusi secara maksimal dalam pembangunan.
Di sisi lain, kesempatan untuk memperkuat posisi perempuan dalam pembangunan semakin terbuka. Inisiatif pemerintah untuk meningkatkan akses pendidikan dan kesehatan bagi perempuan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya perempuan dalam pembangunan. Selain itu, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dapat menjadi alat yang efektif untuk memberdayakan perempuan, terutama di daerah terpencil. Menurut data dari International Telecommunication Union (ITU) (2022), akses internet yang semakin meningkat dapat menjadi jembatan bagi perempuan untuk mengakses informasi, berjejaring, dan mencari peluang ekonomi.
Pembangunan berbasis gender juga harus didukung oleh kebijakan yang tepat. Salah satu langkah strategis yang bisa diambil adalah Pertama,. meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan bagi perempuan. Pemerintah perlu mendorong program-program beasiswa yang diperuntukkan bagi perempuan di bidang-bidang yang selama ini dikuasai laki-laki, seperti STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) dan bidang teknologi digital. Hal ini sejalan dengan laporan dari McKinsey Global Institute (2021) yang menyatakan bahwa penutupan kesenjangan gender di sektor teknologi dapat menambah $12 triliun pada PDB global pada tahun 2025.
Kedua, penguatan regulasi untuk melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi juga sangat penting. Kebijakan seperti UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual perlu diterapkan secara efektif. Pemberian pelatihan bagi aparat penegak hukum mengenai penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, sehingga perempuan merasa aman untuk melaporkan pelanggaran hak mereka.
Ketiga, partisipasi perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan harus diperkuat. Menurut data dari Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Pemberdayaan (APIP) (2022), meskipun ada peningkatan jumlah perempuan dalam jabatan publik, persentasenya masih jauh dari representatif. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan afirmatif yang mendorong perempuan untuk terlibat lebih aktif di ranah politik.