Mohon tunggu...
luthfi mutaali
luthfi mutaali Mohon Tunggu... pembelajar/dosen/peneliti/konsultan

saya meminati bidang pembangunan wilayah, tata ruang, ekonomi regional dan perencanaan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ironi Food Waste dan Program MBG (Makan Gizi Gratis)

14 Februari 2025   05:46 Diperbarui: 14 Februari 2025   09:57 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/1aiiEUnTjY7YCkF19

Peningkatan prevalensi gizi buruk di Indonesia telah memicu perhatian pemerintah dalam merancang program-program strategis guna memperbaiki kualitas gizi masyarakat, salah satunya adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini bertujuan untuk memberikan akses makanan bergizi kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan, dengan harapan dapat menurunkan angka gizi buruk, terutama di kalangan anak-anak dan ibu hamil. Namun, meskipun program ini memiliki tujuan mulia, ada ironi besar yang perlu diperhatikan: di sisi lain, Indonesia menghadapi tingkat pemborosan makanan (food waste) yang sangat tinggi, yang mencerminkan ketidaktepatan dalam pengelolaan distribusi pangan dan ketidakseimbangan dalam konsumsi makanan. Pemborosan makanan yang tinggi ini, yang seharusnya dapat dikendalikan dengan kebijakan yang lebih tepat, malah terjadi bersamaan dengan program MBG yang bertujuan untuk mengatasi masalah yang sama---yaitu gizi buruk dan ketahanan pangan.

Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia berada di antara negara dengan tingkat pemborosan makanan tertinggi di dunia. Setiap tahun, lebih dari 13 juta ton makanan terbuang sia-sia, yang sebagian besar terjadi di tingkat konsumen (FAO, 2022). Pemborosan ini berasal dari berbagai sektor, termasuk rumah tangga, restoran, supermarket, dan pasar. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (2021), rumah tangga di Indonesia membuang sekitar 10 hingga 20 persen dari total belanja makanan mereka setiap bulannya. Fenomena food waste ini menunjukkan ketidakselarasan antara kebijakan pemberian makanan secara cuma-cuma melalui program MBG dan realitas konsumsi makanan yang tidak efisien di masyarakat.

Pemborosan makanan tidak hanya merugikan secara ekonomi dan lingkungan, tetapi juga mencerminkan ketidakseimbangan sosial dalam distribusi pangan. Sementara program MBG berfokus pada pemberian makanan bergizi kepada mereka yang membutuhkan, kenyataannya masih banyak kelompok masyarakat yang justru tidak memerlukan bantuan tersebut, terutama di kota-kota besar dengan tingkat konsumsi yang tinggi. Di sisi lain, kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap masalah gizi buruk, seperti anak-anak stunting dan keluarga miskin, belum tentu mendapatkan manfaat yang optimal dari program ini. Hal ini menimbulkan ironi besar, di mana makanan yang seharusnya dapat dialihkan kepada mereka yang membutuhkan, justru terbuang percuma karena ketidaktepatan sasaran dan distribusi yang tidak merata.

Teori mengenai food waste dan konsumsi berlebihan menjelaskan bahwa pemborosan makanan merupakan hasil dari ketidakseimbangan dalam pola konsumsi dan ketidaktahuan mengenai dampak negatifnya terhadap ketahanan pangan. Menurut teori "consumer culture theory" (Arnould & Thompson, 2005), dalam masyarakat konsumerisme, makanan seringkali dianggap sebagai simbol status dan prestise. Hal ini menyebabkan pembelian makanan yang berlebihan, yang pada gilirannya berujung pada pemborosan. Dalam konteks ini, program MBG yang melibatkan pemberian makanan secara gratis berisiko memperburuk ketergantungan pada bantuan luar, tanpa mengatasi akar permasalahan dalam kebiasaan konsumsi yang berlebihan.

Selain itu, fenomena food waste di Indonesia berkaitan erat dengan kurangnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan sumber daya pangan yang efisien. Dalam survei yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2022, ditemukan bahwa sebanyak 75% rumah tangga di Indonesia tidak memiliki kebiasaan untuk mengolah makanan sisa, dan sebagian besar makanan yang terbuang merupakan makanan yang masih dapat dimanfaatkan. Pemborosan ini tidak hanya terjadi di rumah tangga, tetapi juga di sektor bisnis, seperti restoran dan supermarket, yang seringkali membuang makanan yang masih layak konsumsi karena alasan estetika atau kesegaran yang tidak terjaga. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, pemborosan makanan terjadi dengan sangat signifikan, yang mencerminkan adanya ketidaksesuaian antara kebijakan pemberian makanan bergizi gratis dan realitas konsumsi masyarakat urban.

Dalam menghadapi ironi ini, penting untuk meninjau kembali implementasi program MBG. Program ini seharusnya tidak dilakukan secara serampangan di seluruh wilayah dan kelompok masyarakat tanpa mempertimbangkan kondisi spesifik kebutuhan gizi. Pemerintah perlu memfokuskan program MBG pada daerah dan kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan bantuan pangan, seperti daerah dengan prevalensi stunting tinggi, keluarga miskin, dan kelompok yang mengalami kelaparan akut. Hal ini penting untuk menghindari pemborosan sumber daya negara dan memastikan bahwa bantuan diberikan kepada mereka yang paling rentan terhadap kekurangan gizi.

Penting juga bagi pemerintah untuk tidak hanya melihat sisi pemberian makanan bergizi, tetapi juga untuk mengintegrasikan kebijakan pengurangan pemborosan makanan dalam strategi ketahanan pangan nasional. Menurut teori ketahanan pangan yang dikemukakan oleh Max R. Wachter (2019), ketahanan pangan tidak hanya melibatkan ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga mengacu pada aksesibilitas dan keberlanjutan dalam pengelolaan pangan. Untuk itu, pengurangan pemborosan makanan harus menjadi bagian integral dari kebijakan ketahanan pangan Indonesia. Kebijakan yang menekankan pada pengelolaan konsumsi yang efisien, seperti program pengurangan pemborosan makanan di tingkat rumah tangga dan sektor bisnis, harus dilaksanakan secara bersamaan dengan MBG untuk mencapai tujuan ketahanan pangan yang lebih baik.

Selain itu, edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan makanan sisa dan pembiasaan pola makan yang sehat juga harus menjadi bagian dari strategi kebijakan ini. Dengan meningkatnya kesadaran tentang pengelolaan makanan yang lebih efisien, diharapkan pemborosan makanan dapat dikurangi secara signifikan, dan sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan untuk mendukung program-program pemerintah yang lebih tepat sasaran dan efektif.

Meskipun Program Makan Bergizi Gratis memiliki tujuan yang baik untuk meningkatkan status gizi masyarakat, keberhasilannya sangat bergantung pada ketepatan sasaran dan prioritas wilayah yang membutuhkan. Di sisi lain, fenomena food waste yang tinggi di Indonesia menandakan bahwa program ini harus dilakukan dengan hati-hati, mengutamakan mereka yang benar-benar membutuhkan, dan mengintegrasikan kebijakan pengurangan pemborosan makanan dalam strategi ketahanan pangan nasional. Pendekatan ini tidak hanya akan mengurangi pemborosan, tetapi juga memperbaiki kualitas gizi masyarakat secara lebih efektif dan berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun