Kepulauan Seribu, destinasi wisata bahari andalan Indonesia, kini menghadapi tantangan besar dalam menjaga kelestarian ekosistem lautnya. Popularitas snorkeling yang semakin meningkat membawa ancaman serius terhadap terumbu karang dan kehidupan biota laut.
Keindahan bawah laut Kepulauan Seribu menjadi magnet kuat bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Aktivitas seperti jalan kaki, tracking, bermain di pantai, hingga menyelam menjadi pilihan favorit, terutama bagi masyarakat Jakarta yang ingin sejenak melepaskan penat dari hiruk-pikuk kota. Namun, di balik meningkatnya kunjungan wisata snorkeling ini, berbagai tantangan terhadap kelestarian ekosistem laut muncul dan tak bisa dipandang sebelah mata.
Sayangnya, tidak semua aktivitas wisata tersebut dilakukan dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Beberapa perilaku wisatawan yang dilarang, seperti memegang binatang laut saat menyelam, masih sering terjadi. Gerakan tubuh penyelam bisa mengganggu binatang laut dan menyebabkan stres atau reaksi agresif yang berbahaya, baik bagi hewan maupun manusia. Selain itu, tindakan merusak biota laut, seperti menembak ikan dan menginjak terumbu karang, memperparah kerusakan ekosistem yang rapuh ini.
Tak kalah memprihatinkan adalah persoalan sampah. Di dasar laut Kepulauan Seribu, masih banyak ditemukan sampah plastik bahkan hingga kedalaman 20 meter. Sampah plastik yang sulit terurai ini bukan hanya merusak keindahan bawah laut, tetapi juga mengancam kesehatan ekosistem laut dalam jangka panjang.
Selain itu, snorkeling atau diving tanpa pendamping profesional juga dilarang demi keselamatan. Penyelaman sebaiknya dilakukan bersama buddy atau dipandu divemaster berpengalaman, mengingat kondisi bawah laut dapat berubah sewaktu-waktu tergantung cuaca dan arus.
Kerusakan terumbu karang akibat aktivitas manusia kini bukan lagi sekadar isu. Data dari SMILING Coral Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 60 persen terumbu karang di Kepulauan Seribu mengalami kerusakan. Aktivitas snorkeling yang tidak bertanggung jawab, seperti menginjak karang atau membuang jangkar sembarangan, menjadi penyebab utamanya. Penelitian dari IPB juga menemukan fenomena pemutihan karang di beberapa titik seperti Pulau Pari, Pulau Pramuka, Pulau Panggang, dan Pulau Air, yang diperburuk oleh kenaikan suhu laut serta tekanan aktivitas manusia.
Kerusakan ini berdampak luas, karena terumbu karang merupakan habitat penting bagi berbagai spesies seperti penyu, hiu berjalan, dan ikan-ikan hias. Kehilangan habitat alami mereka berdampak pada penurunan populasi hewan laut dan mengganggu keseimbangan ekosistem, yang pada akhirnya juga mengancam mata pencaharian para nelayan setempat.
Menanggapi masalah ini, berbagai upaya pelestarian telah dilakukan. Salah satunya adalah program transplantasi terumbu karang di berbagai pulau untuk memperbaiki karang yang rusak. Selain itu, Kepulauan Seribu menerapkan teknologi Biorock, yaitu penggunaan arus listrik rendah untuk mempercepat pertumbuhan karang dan meningkatkan ketahanannya terhadap perubahan iklim.
Pemerintah daerah bersama komunitas lingkungan juga gencar melakukan edukasi kepada wisatawan tentang pentingnya menjaga ekosistem laut. Wisatawan diajarkan teknik snorkeling ramah lingkungan, seperti tidak menyentuh atau menginjak terumbu karang. Pelatihan bagi pemandu wisata terus digalakkan, sehingga mereka mampu membimbing pengunjung dengan lebih baik di lapangan.
Selain itu, diterapkan pula zona konservasi yang membatasi atau melarang aktivitas wisata di area-area sensitif demi menjaga keseimbangan alam. Pengawasan dan regulasi diperketat, termasuk patroli rutin untuk menindak pelanggaran terhadap aturan konservasi.