Mohon tunggu...
Mohammad Lutfi
Mohammad Lutfi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tenaga pengajar dan penjual kopi

Saya sebenarnya tukang penjual kopi yang lebih senang mengaduk ketimbang merangkai kata. Menulis adalah keisengan mengisi waktu luang di sela-sela antara kopi dan pelanggan. Entah kopi atau tulisan yang disenangi pelanggan itu tergantung selera, tapi jangan lupa tinggalkan komentar agar kopi dan tulisan tersaji lebih nikmat. Catatannya, jika nikmat tidak usah beri tahu saya tapi sebarkan. Jika kurang beri tahu saya kurangnya dan jangan disebarkan. Salam kopi joss

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hape-hape yang Tetap dalam Genggaman

11 November 2020   18:34 Diperbarui: 11 November 2020   18:36 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar via KOMPAS.com/Reska Nistanto

Memang sejatinya hape menjadi salah satu ruang seseorang berekspresi, menunjukkan eksistensinya. Siapa pun berhak dan bebas untuk melakukan aktivitasnya dengan menggunakan hape. Namun, yang perlu dicatat bagi si pengguna adalah setiap orang yang juga berhak untuk memeroleh rasa nyaman dalam berkativitas, lebih-lebih dalam ritual keagamaan.

Kebebasan yang dijadikan tameng oleh seseorang tanpa adanya batasan akan menjadi kebebasan yang kebablasan (meminjam istilah dari kritik Platon terhadap negara demoksrasi yang ditulis A. Setyo Wibowo). Jika berdasar pada kebebasan ini, maka selanjutnya pengguna hape akan menjadi orang yang seenaknya meskipun nyatanya itu adalah aktivitas yang mengganggu orang lain, kekhusyukan dalam berselawat, tahlilan, salat jumat, ngopi bareng, dan lainnya.

Hape dalam skala luas sebagai produk kemajuan teknologi nampaknya lebih eksis daripada si empunya. Bahkan, tak sedikit satu orang memiliki dua hape, tak sedikit pula yang sering meng-upgrade hapenya sesuai dengan tipe-tipe terbaru. Hipnotis dan candu sebagai bukti bahwasanya teknologi (hape) telah menjadi budaya karena menjadi cara hidup, dan secara tidak sadar menyetir cara kita merasa, berpikir dan berharap (A. Setyo Wibowo, 2017).

Lebih jauh lagi hape yang menghipnotis penggunanya telah menyebabkan masyarakat semakin individualis. Anak-anak kecil pun saat ini juga begitu, hape menjadi mode baru guna menghiburnya. Jika yang dewasa dan anak-anak sudah terkena candu maka genaplah perubahan bangsa ini dari masyarakat penuh simpati dan empati menjadi masyarakat yang antipati.

Lantas apa gerangan yang bisa dilakukan? Jawabannya, pertama, kesadaran pribadi dari setiap pemilik hape di mana si pengguna perlu berkomitmen diri dengan pembatasan menggunakan hape di lingkungan keluarga dan masyarakat. Kedua, usaha penyadaran dari masyarakat dalam bentuk mengingatkan, menegur dan mengimbau secara langsung atau dalam bentuk poster dan semacamnya.

Ketiga, pendidikan, kita tahu pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menjadikan seseorang berbudaya yang baik dan benar. Pendidikan sebagai penentu maju mundurnya suatu peradaban. Kolaborasi keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat akan menjadikan mutu budaya yang semakin baik dan maju. Dengan begitu, jika sudah terwujud individu dan masyarakat yang baik maka tak perlu lagi takmir masjid, petugas pom bensin, dan tempat umum lain menempel larangan bermain hape karena setiap individu dan masyarakat telah memahami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun