Di antara sekian banyak tokoh dalam sejarah Nusantara, nama Ken Arok adalah satu dari sedikit yang mampu membuat saya merenung lama. Dibalik cerita-cerita kelam yang menempel pada dirinya seperti pembunuhan, pengkhianatan, hingga ambisi tak terukur. Saya justru melihat sosok yang luar biasa, seorang manusia biasa, dari kalangan paling bawah yang tidak pernah pasrah pada nasib.
Saya melihat Ken Arok sebagai cerminan dari pergulatan setiap manusia yang lahir dalam ketertindasan, tetapi menolak untuk dikalahkan oleh keadaan. Ia bukan hanya legenda, tapi simbol. Simbol dari mobilitas sosial yang sangat langka dalam zaman feodal, simbol dari perjuangan melawan garis nasib yang tidak adil, dan simbol dari kemenangan atas keterbatasan diri sendiri.
Ia Dilahirkan dari Ketiadaan
Kita tahu dari berbagai sumber bahwa Ken Arok tidak lahir dari keluarga raja. Ia bukan bangsawan, bukan anak ksatria, bahkan dalam beberapa versi disebut sebagai anak seorang pencuri atau pelacur. Tapi justru dari titik nadir itu Ken Arok memulai pendakiannya.
Saya membayangkan betapa beratnya hidup di masa itu tanpa nama, tanpa silsilah, tanpa gelar, di tengah dunia dimana status sosial menentukan segalanya. Ken Arok bukan siapa-siapa, tapi dari situlah keistimewaannya lahir keberanian untuk bermimpi di tengah keterbatasan.
Banyak orang mengeluh tentang nasib buruk, tapi sedikit yang benar-benar punya nyali untuk melawannya. Ken Arok adalah pengecualian, ia tidak merengek pada takdir, tidak meratap di pojok penderitaan. Ia menyusun langkah, satu demi satu, dengan cara yang barangkali tidak selalu "moral", tapi sangat manusiawi.
Strategi Adalah Kekuasaannya
Saya tidak hendak membela perbuatannya yang kontroversial seperti pembunuhan Tunggul Ametung. Tapi dari sisi lain, saya bisa belajar tentang kecerdasan membaca peluang dan keberanian mengambil risiko. Dalam dunia di mana kekuasaan diraih bukan karena layak, tapi karena lihai, Ken Arok bermain dengan cemerlang.
Ia melihat celah, memanfaatkan kelemahan musuh, dan menyusun langkahnya secara sistematis. Ini bukan sekedar keberuntungan, ini hasil dari perhitungan matang dari kecakapan politik yang jarang dimiliki oleh rakyat biasa. Bahkan dalam kisah keris Mpu Gandring yang terkenal itu, saya melihat bukan hanya simbol pengkhianatan, tapi juga lambang dari konsekuensi ambisi bahwa setiap pilihan besar selalu datang bersama bayang-bayang maut.