Mohon tunggu...
Lusia Arumingtyas
Lusia Arumingtyas Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

doing anything with love !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

All Mixed Up? Instrumental and Emancipatory Learning Toward a More Sustainable World: Considerations for EE Policymakers

28 April 2013   23:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:27 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dunia, para pembuat kebijakan memperlihatkan bahwa dengan melalui jalur pendidikan dan strategi komunikasi dapat menciptakan dunia yang lebih tersistematis ke depannya dibandingkan kemungkinan yang terjadi saat ini. Mereka seringkali mencari jebakan antara instrumental (perubahan perilaku) dan emancipatory (perkembangan manusia) sebagai strategi. Kajian ini memperlihatkan secara nyata pemisahan dalam penelitian yang dapat dijadikan contoh untuk merepresentasikan kasus dalam hal orientasi dan penggabungan diantara keduanya. Satu hasil dari adanya kajian mengenai pembuat kebijakan EE (Environmental Education) tetapi juga adanya kebutuhan dari para profesional EE untuk penggambaran perubahan yang akan terjadi nanti. Hanya mereka yang mampu menentukan jenis edukasi, partisipasi, komunikasi, dan penggabungan diantaranya yang paling tepat, dimana akan memberikan hasil yang terbaik sesuai yang diinginkan dan dapat mengawasi dan sistem evaluasi yang baik untuk dipekerjakan.

PENDAHULUAN

Pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah isu yang sedang hangat dalam agenda politik dunia international, nasional dan lokal. Misalnya pemerintah Belanda mempertimbangkan Environmental Education (EE) dan Learning for Sustainable Development (LSD) sebagai alat kebijakan yang komunikatif untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan dalam masyarakat sosial. Terakhir, keefektifan kebijakan EE yang ada telah diuji oleh Netherland Environmental Assessment Agency (MNP) (Solart, 2004). Kajian ini menyatakan bahwa sedikit informasi yang tersedia mengenai cara bagaimana instrumen pendidikan untuk mempertinggi tingkat keberlanjutan dalam praktek kerja masyarakat. Kemudian MNP mempersiapkan pengecekan penelitian untuk menguji bagaimana perbedaan pendekatan kebijakan untuk EE yang direfleksikan dalam praktek EE. Kajian ini menguji empat perwujudan kebijakan EE dalam percobaan untuk menjawab pertanyaan :

1.Bagaimana pendekatan EE yang berbagai jenis dapat berkontribusi dalam proses memipin untuk praktek-praktek baru yang semakin berkelanjutan? Bagaimana pendekatan atau “alat” tersebut mampu digunakan untuk menguatkan atau meningkatkan?

2.Bagaimana pembuat kebijakan (EE) mampu menjadi lebih berkomperen dan efektif dalam mengkomunikasikan instrumen-instrumen dalam menggerakan masyarakat menuju ketahanan?

3.Apa peran “pengetahuan” dalam pendekatan-pendekaran tersebut?

Penelitian ini mengkaji tiga pendekatan dalam EE : salah satunya dapat diklasifikasikan sebagai sebagian besar instrumental, salah satunya dapat sebagian besar diberikan label emancipatory, dan salah satunya merupakan penggabungan dari keduanya.

INSTRUMENTAL ENVIRONMENTAL EDUCATION AND COMMUNICATION

Pendekatan instrumental berasumsi bahwa hasratatau keinginan akan hasil dalam kegiatan EE diketahui, dapat atau kurang dapat disetujui, dan dapat terpengaruh oleh intervensi yang didesain secara hati-hati. Singkatnya, pendekatan instrumental untuk EE dimulai dengan perumusan tujuan yang spesifik dalam bagian perilaku yang seringkali disukai, dan memperhatikan bagaimana “target group” sebagai “receiver (penerima)” pasif yang membutuhkan pemahaman yang jelas jika intervensi secara komunikatif memiliki efek tertentu. Model ini mendasari pendekatan yang menjadikannya lebih canggih selama beberapa tahun daripada model klasik “ tingkat kesadaran sampai tindakan” yang muncul sekitar abad ke-16 dan ke-17.

Dalam model ini terdapat beberapa point mengenai instrumental pendidikan lingkungan dan komunikasi yang dapat digunakan sebagai acuan hasil dari intervensi analisis perilaku terdahulu. (misalnya meningkatkan ringkat kesadaran akan sebuah masalah, mempengaruhi norma-norma sosial, sikap dan meningkatkan kontrol diri). Karakteristik pendukung dan para perancang dari pendekatan instrumental memiliki kelanjutan penyelidikan dari adanya pemahaman yang baik, dimana hasil lebih terukur dan berbagai indicator kecanggihan untuk membuat intervensi-intervensi yang lebih efektif dan mampu untuk membuktikan bahwa mereka sungguh-sungguh sangar efektif.

Kritik dari penggunaan instrumental dalam pendidikan lingkungan memberikan pendapat bahwa penggunaan jalur pendidikan dalam mengubah perilaku manusia dalam perencanaan dan pemutusan suatu tindakan lebih dilakukan dengan manipulasi dan adanya doktrinasi dibandingkan dilihat dari sisi penddikannya. Pendukung tersebut menggunakan pendidikan dengan pendapatnya bahwa masa yang akan datang dari planet kita sebagai taruhan, digunakan sebagai sesuatu yang sah. Hal tersebut ditemukan dalam kebijakan di Belanda dalam departemen pertanian, penggunaan lahan, konservasi alam, perlindungan lingkungan, pengamanan makanan, dan energi. Paling parah, kritik tersebut juga justru berada di departemen pendidikan.

EMANCIPATORY ENVIRONMENTAL EDUCATION

Pendekatan emansipatori, berlawanan dengan pendekatan instrumental, pendekatan ini mencoba untuk mengajak masyarakat untuk aktif dalam dialog untuk menyusun obyektifitas yang sepantasnya, membagikan arti dari sebuah makna, dan bersama-sama menetapkan rencana kegiatan untuk membuat perubahan mereka sendiri dengan mempertimbangkan keinginan dan harapan dari pemerintah itu sendiri, pada akhirnya, memberikan kontribusi untuk kegiatan yang berkelanjutan dalam masyarakat secara keseluruhan  (Wals & Jickling, 2002).

Dengan kata lain, obyektifitas yang spesifik dan cara untuk mencapainya tidaklah dibuat terlebih dahulu. Proses pembelajaran sosial, memberikan bantuan dengan metode partisipasi, yang diidentifikasi sebagai mekanisme yang tepat untuk mewujudkan pendekatan emansipatori yang lebih untuk EE  (van der Hoeven et al., 2007; Wals, 2007) dan untuk manajemen lingkungan  (Keen et al., 2005).

Gambar kedua menggambarkan proses bagaimana seseorang secara terus-menerus mencari-cari sebuah perbaikan secara berkelanjutan pada situasi tertentu. Pendukung pendekatan emansipatori berpendapat bahwa pendekatan ini merupakan suatu bentuk kea rah ketahanan dalam sebuah kondisi dalam mencari sebuah solusi. Begitu juga dengan masa peralihan membutuhkan sebuah sistem dan sebuah gerakan yang lebih otomatis mengenai pemikiran dan tindakan dengan kenyataan yang ada di dunia kita merupakan salah satu perubahan secara terus menerus dan selama waktu yang tidak dapat dipastikan.

Skema spiral yang digunakan dalam pendekatan emansipatoris dimulai dari diagnosa, mendesain, melakukan dan mengembangkan. Awalnya, kita melakukan diagnosa. Kita memulai dengan melakukan apa yang menjadi sebuah titik permasalahan yang terjadi. Kedua, kita mulai mendesain rancangan dengan ide, kemampuan dan konten yang baru. Kemudian kita urai satu persatu kemudian disusun. Ketiga adalah tahap dmana kita mencobanya, melakukan dengan sistem trial and eror, dengan kita mencoba yang lama dan kita mencoba hal yang baru. Keempat adalah mengembangkan. Dalam tahap ini kita mengevaluasi apa yang menjadi sebuah kekurangan dan kelebihan ketika kita melakukan hal tersebut, kemudian itu menjadi pembelajaran tersendiri. Setelah itu kita menentukan pengembangan untuk sistem selanjutnya yang lebih baik didasarkan dari evaluasi yang ada. Proses ini tejadi secara terus menerus dan berkelanjutan dengan ukuran waktu yang tak dapat dipastikan.

Kritik mengenai pendekatan ini cenderung memberikan pendapat bahwa kita mengetahui banyak hal mengenai keberlanjutan sebuah proses, apakah itu sustainable atau tidak sustainable, dan pada waktunya kita semua memiliki kebebasan diri, wewenang, rekleksip, dan kompeten, bumi memiliki kapasitas untuk membuat kita lelah sehingga tidak dapat mengubahnya.

BLENDED ENVIRONMENTAL EDUCATION, COMMUNICATION, AND PARTICIPATION

Sosiologis lingkungan asal Belanda, Gert Spaargaren membuat sebuah teori struktur yang diadaptasi dari teori struktur Giddens, dimana dalam model ini menghubungkan antara pelaku, orientasinya dan ketentuan pendekatan pada strukturnya. Diantara agensi dan struktur memiliki keterkaitan dan saling berpengaruh diantara keduanya secara luas mengenai praktek sosial. Model Spaargaren menggunakannya sebagai jembatan diantara instrumental klasik, sikap terhadap lingkungan dan pendekatan perilaku dan emansipatori lainnya yang beerbasis pendekatan agensi itu sendiri. Dalam waktu yang bersamaan, model ini memberikan pengaruh perilaku  terhadap struktur sosial yang ada (teknologi).

Pemerintah Belanda terus meningkatkan pengenalan hal-hal yang penting mengenai praktek sosial dan gaya hidup, dibandingkan memikirkan pada perubahan perilaku dan sikap secara bertahap, terutama dalam program pendidikan kesehatan dan komunikasi. Van Koppen (2007) melakukan percobaan menggunkan pendekaran intergratif praktek sosial, dalam konteks gerakan ke arah keberlanjuran dalam konsumerisme sosial (van Koppen, 2007).

Dilihat dari perspektif model penguasaan praktek sosial menyebutkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan memiliki perhatian yang kuat. Martens dan Spaargaren (2005) menyebutkan hal serupa mengenai pembagian kekuasaan dimana beberapa oknum politik melakuakn pengendalian kekuasaan untuk mengubahnya. Hal ini sebagai pendekatan yang secara terus menerus muncul sampai sekarang sampai pada penerimaan sedikit perhatian dalam lingkaran pendidikan lingkungan, ini dianggap sebuah pendekatan dengan pandangan artikulasi dukungan dan musuh yang masih sangat dini.

METHODOLOGY AND METHODS

Wals and Eijf melakukan penelitian dengan melakukan studi kasus, dimana ia menyatakah bahwa ia melakukannya dengan melihat interaksi dari multi faktor yang diproduksi dari karakteristik yang unik dari subyek penelitian. Selain itu perlu adanya kategori penelitian “catch-all” untuk segala penelitian untuk melihat secara keseluruhan proses yang terjadi. Pemaparan laporan penelitian secara “eksplanatif” dan “deskriptif” menjadi salah satu anjuran agar pemahaman yang ingin disampaikan lebih efektif. Beberapa tahap dalam melakukan studi kasus : orientating, descontructing, questioning, interviewing, analyzing, validating dan soliciting feedback.

RESULTS

Pada point pertama, pendekatan secara instrumental dan emansipatori memiliki perbedaan dilihat ketika memutuskan sebuah kebijakan mengenai lingkungan misalnya. Pendekaran instrumenral secara nyata meningkatkan pengetahuan mengenai kepedulian terhadap permasalahan di sekitar kita, permasalahan ekologis, sedangkan pendekatan emansipatori bertujuan dalam hubungan perubahan jangka panjang dalam dukungan publik, perjanjian dan keterlibatan.

Pendekatan emansipatori sangat multi tafsir dalam berbagai situasi, sehingga membutuhkan proses pembelajaran yang lebih mendasar mengenai lingkungan secara fisik dan sosial. Sedangkan dalam pendekatan instrumental sangat bergantung pada indikator bagaimana mengukur hasil dalam SMART (Spesific, Measurable, Acceptable, Realistic, Time-specified).

Poin kedua, baik pendekatan instrumental maupun emansipatori salah satu dapat menguatkan dalam perspektif kebijakan dan sebagian dari perspektif pendidikan. Sehingga keduanya memiliki strategi monitoring dan evaluasi yang berbeda pula.

Point ketiga, mengenai bagaimana peran pengetahuan dalam tiga pendekatan tersebut. Pendekatan instumental, pengetahuan tidak hanya faktor yang mempengaruhi dalam meningkatkan kepedulian dan proses perilaku tetapi salah satu pertimbangan sangat penting/  Pendekatan emansipatori, pengetahuan memfasilitasi perubahan secara implisit, membentuk sebuah pengetahuan baru dan ppada akhirnya bersama-sama memaknai sebuah proses tertentu.

CONCLUSION

Di seluruh dunia, EE (Environment Education) dan pembuat kebijakan ESD (Educatin  for Sustainable Development) maupun praktisinya melihat bahwa dengan menggunakan jalur pendidikan dan strategi komunikasi untuk menciptakan prospek dunia yang berkelanjutan. Strategi yang mereka temukan adalah dengan menggunakan pendekatan instrumental (perubahan perilaku) dan emansipatori (pengembangan manusia).

Oleh karena itu, EE dan pembuat kebijakan ESD  perlu adanya melakukan konsultasi secara menyeluruh dengan pihak lain. Paling tidak dengan pertanyaan mendasar seperti : “Apa yang kita harapkan dalam perubahan? dan bagaimana pemaknaan dari sebuah perubahan yang “baik”? Jawaban dari dua pertanyaan ini akan berimplikasi dengan bagaimana seharusnya dan level partisipasi para pemegang kekuasaan dalam melakukan intervensi, desain, mengawasi dan mengevaluasi. Refleksi dari pertanyaan tersebut akan mempertimbangkan jenis edukasi, partisipasi, komunikasi dan perpaduan yang dapat dilakukan secara tepat dan jenis target seperti apa yang dapat dihasilkan.

Referensi :

Wals, Arjen E.J & Eijff, Floor Geerling. 2008. All Mixed Up? Instrumental and Emancipatory Learning Toward a More Sustainable World : Considerations for EE Policymakers. UK : Routledge.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun