Mohon tunggu...
Nurfadhilah
Nurfadhilah Mohon Tunggu... Konsultan - Beramal demi ridha Allah
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang ibu rumah tangga dan pemerhati dunia Islam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Haruskah Zakat Profesi?

13 Maret 2018   08:10 Diperbarui: 13 Maret 2018   10:44 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti kehabisan cara untuk memungut uang dari rakyat. Setelah berbagai pajak dibebankan ditambah BPJS, bisa-bisanya pemerintah mewacanakan pemungutan zakat untuk aparatur sipil negara (ASN). Sebagaimana yang dikatakan Mentri agama Lukman Saefudin baru-baru ini, pemerintah berencana memungut zakat 2,5 % dari gaji ASN. Mentri beralasan, selama ini APBN dan APBD tidak cukup(viva.co.id 7/2/18). Menurut mentri agama pula, potensi zakat dari ASN bisa mencapai Rp. 15 triliun pertahun(http: //www.inews.id 7/2/18).

Menurut saya, ini adalah gagasan yang mengada-ada dan terlalu dipaksakan. Kalau dikatakan zakat dipungut demi menutupi defisit APBN dan APBD, bukankah kekayaan SDA kita itu melimpah ruah? Dari mulai tambang emas, tambang minyak, gas, kekayaan hutan, kekayaan laut dan masih banyak lagi. Kemana Kekayaan SDA itu? Anehnya pendapatan APBN, lebih dari 80% nya bersumber dari pajak. Kenapa pula harus memaksakan memungut zakat dari ASN yang kebanyakan gaji mereka juga kecil?

Apalagi kalau dilihat dari pandangan syariat, zakat itu sudah ada aturannya. Zakat hanya diambil dari harta yang tidak bergerak selama satu tahun dan mencapai nishobnya(jumlah harta yang telah ditentukan syara'). Dikeluarkan pada tahun berikutnya sebesar 2,5%. Bukan diambil dari penghasilan bulanan yang belum dipotong dengan kebutuhan sehari-hari.  Lagi pula disyariatkannya zakat juga sudah jelas dalam Al Qur'an dalam surat At Taubah ayat 60. Yakni untuk disalurkan kepada 8 asnaf  yaitu fakir, miskin, amil, riqob, fii sabilillah, ibnu sabil, ghorimin dan muallaf. Bukan untuk pembangunan seperti yang diinginkan pemerintah. Bukankah suatu kedzoliman jika wacana ini sampai terealisasi?

Jika pemerintah serius ingin menambah pemasukan APBN yang dibutuhkan untuk mensejahterakan rakyat, tentu tak seharusnya pemerintah membidik dana zakat.  Islam sendiri memiliki mekanisme yang mengatur masalah ini. Salah satunya melalui kewajiban negara untuk mengelola harta milik umum seperti SDA yang hasilnya sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. 

Haram pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta apalagi asing. Hal ini berdasarkan riwayat penuturan Abyadh bin hammal ra. Bahwa: ia pernah mendatangi Rosulullah SAW untuk meminta tambang garam-menurut ibnu al mutawakil di ma'rib-dan beliau memberikan tambang itu kepada abyadh. Namun tatkala tambang garam itu telah diberikan, tiba-tiba seseorang di majelis berkata kepada rosulullah saw. "Tahukah anda, apa yang anda berikan kepada dia? Sungguh anda telah memberi dia harta yang seperti air mengalir( berlimpah.red)." mendengar itu Rosulullah SAW. Menarik kembali kepemilikan tambang tersebut dari abyadh(HR. Abu Dawud).

Hadits ini-selain beberapa nas lainnya- menjadi salah satu dalil keharaman negara menyerahkan kekayaan yang menguasai hajat hidup orang banyak, baik kepada individu swasta atau asing. Hal ini berlaku jika Islam diterapkan secara kaffah oleh negara. Jadi mengapa harus zakat?

By. Ummu Auliya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun