Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sudah Saatnya Melibatkan Masyarakat Adat dalam Penanganan Krisis Iklim

2 Februari 2024   11:08 Diperbarui: 2 Februari 2024   17:23 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
masyarakat Suku Baduy hidup berdampingan dengan alam-sumber: it.avatar-nusantara.com

Pada tahun 2022 lalu, Dahlia, warga Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi. Permohonannya ditolak. Ia bersama beberapa keluarga di kampungnya terpaksa menandatangani perjanjian ganti rugi lahan. Namun, setelah 4 bulan berlalu, uang ganti rugi lahan yang dijanjikan tak kunjung diterima. Tak punya tanah dan bekal pendidikan yang cukup, Dahlia dan anak-anak muda lain di kampungnya terancam tersingkir dari ibu kota baru yang sedang dalam proses pembangunan ini. 

Ancaman kehilangan ruang hidup dikhawatirkan akan dialami oleh Masyarakat Melayu Pulau Rempang akibat konflik pembangunan Rempang Eco City. Ketegangan memuncak saat aparat gabungan memaksa mengukur tanah yang di atasnya akan dibangun Rempang Eco City yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN). Hal ini dapat memicu eksodus masyarakat dari Pulau Rempang sehingga menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan, di mana masyarakat akan kehilangn mata pencahariannya karena lahan pertanian yang ikut tergusur. 

Nasib serupa juga terjadi pada kehidupan masyarakat adat Dayak Benawan yang bermukim di hutan di Sanggau, Kalimantan Barat, yang tergusur oleh perkebunan sawit. Sumber penghidupan masyarakat hilang dan daerah mereka tinggal jadi lebih sering diterjang banjir. Banjir berasal dari luapan Sungai Kapuas sedangkan hutan yang rusak tergantikan oleh perkebunan sawit menyebabkan air jadi sulit terserap.

Masih banyak lagi kisah-kisah pilu masyarakat adat di Tanah Air yang ruang hidup dan sumber-sumber penghidupannya dirusak dan digusur oleh pembangunan yang tidak memperhitungkan dampak sosial, budaya dan ekologi. Padahal masyarakat adat telah berkontribusi menjaga 80% keanekaragaman hayati dunia dan mewakili 6% populasi dunia melalui pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Sebanyak lebih dari 20% karbon yang diserap oleh hutan, ada kontribusi masyarakat adat yang senantiasa menjaga kelestarian hutan sehingga hutan dapat menjalankan fungsinya itu.

Di tengah ancaman krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan, kebijakan penanganan krisis iklim belum melibatkan peran masyarakat adat, terutama perempuan. Perempuan adat yang dengan pengetahuan kearifan lokalnya telah menjaga hutan dan lingkungan tempat tinggalnya, belum dipandang dan diposisikan sebagai subjek aktif yang berperan dalam mengatasi masalah krisis iklim. Survei Persekutuan Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Perempuan AMAN) menunjukkan sekitar 67,4% perempuan merasa tidak pernah dilibatkan dalam konsultasi Pembangunan yang berlokasi di wilayah adat mereka.

Akibatnya, penanganan krisis iklim sampai sekarang masih jadi isu yang elitis. Masyarakat adat pun hanya menjadi penonton bahkan korban kebijakan karena aspirasi mereka yang kurang diperhitungkan.

Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Menjaga Hutan 

kesederhanan hidup masyarakat Suku Kajang-sumber: ADM-kompas.com
kesederhanan hidup masyarakat Suku Kajang-sumber: ADM-kompas.com

Masyarakat adat senantiasa memelihara kebiasaan dan menerapkan praktik keberlanjutan yang terbaik dalam menjaga ekosistem alam. Mereka mengelola hutan dengan berlandaskan pada aturan, tradisi maupun nilai-nilai kehidupan yang diwariskan secara turun-temurun.

Masyarakat Suku Dayak Merap dan Dayak Punan di Kalimantan Timur, memiliki aturan adat yang melarang masyarakatnya untuk berladang dan mengambil sumber daya pokok di tempat tertentu agar hutan tetap lestari. Selain itu, mereka juga dilarang mengambil beberapa binatang dan tumbuhan yang memiliki fungsi khusus seperti larangan menebang pohon menggris karena merupakan sarang lebah atau larangan menebang pohon ulin lantara buahnya yang digemari oleh landak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun