Mohon tunggu...
Narasi.id
Narasi.id Mohon Tunggu... Jurnalis

Pekerja Sosial

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Angka Mengalahkan Makna: Nasib Filsafat di Era Gen Z?

18 Agustus 2025   16:18 Diperbarui: 18 Agustus 2025   16:18 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era digital, realitas tak lagi ditentukan oleh tafsir panjang filsafat, tapi oleh angka-angka yang diolah mesin. Algoritma menentukan apa yang kita lihat di layar, big data meramal perilaku kita, dan AI mampu menulis, berbicara, bahkan berpikir lebih cepat daripada manusia. Semua ini lahir dari matematikailmu yang sederhana dalam bentuknya, tapi radikal dalam kekuatannya.

Sebaliknya, filsafat terlihat ngambang. Diskusi panjang tentang "hakikat manusia" atau "arti kebenaran" seringkali tak lebih dari perdebatan di ruang kelas, jauh dari persoalan nyata. Gen Z yang hidup di tengah pusaran informasi tidak menemukan relevansi dari filsafat yang sekadar memutar kata-kata. Mereka lebih percaya pada hitungan yang bisa diuji, logaritma yang bisa bekerja, dan persamaan yang langsung memberi jawaban.

Padahal, sejarah pernah mencatat bahwa filsafat dan matematika berjalan beriringan. Plato mendirikan Akademia dengan semboyan "tak seorang pun boleh masuk kecuali yang paham geometri." Descartes membangun filsafat modern dengan kerangka matematika. Bahkan logika formal lahir dari upaya filsafat memahami bahasa angka. Namun hari ini, hubungan itu terputus. Filsafat ngambang di awan teori, sementara matematika menancap kuat di jantung kehidupan digital.

Generasi Z akhirnya melihat filsafat hanya sebagai retorika, sementara matematika adalah realitas. Tapi ini problem serius: matematika memang memberi kepastian, tapi ia bisu soal makna. Angka bisa menghitung klik, mengukur engagement, dan memprediksi perilaku, tapi ia tak pernah menjawab kenapa manusia begitu mudah diperbudak oleh algoritma. Justru di ruang kosong inilah filsafat seharusnya hadir membumi, membongkar makna, dan menantang logika angka yang kini menjadi dewa baru peradaban.

Jika filsafat terus ngambang, ia akan ditinggalkan. Tapi jika ia berani turun, menyapa matematika, dan menohok dominasi digital, filsafat bisa kembali jadi senjata kritis. Karena pada akhirnya, manusia bukan sekadar angka dalam database, tapi makhluk yang mencari makna. Dan di titik itulah, filsafat harus merebut kembali relevansinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun