Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Dari ketiadaan itu, kita menemukan sepenggal harapan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tau Samawa dalam Slogan Sabalong Samalewa

2 Februari 2015   17:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:57 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sumbawa sebagai salah satu daerah di provinsi NTB terus menjadi perhatian pemerintah, baik pemerintah provinsi maupun pusat. Selain, daerahnya yang luas, juga sumber daya alamnya dipandang memiliki daya jual tinggi sehingga mampu mendatangkan devisa bagi pemerintah. Bahkan, sejak 2010 banyak masyarakat menginginkan agar pulau sumbawa menjadi provinsi tersendiri. Melalui wakil-wakil rakyat yang di melenggang ke Senayan, terus diinisiasikan agar pulau Sumbawa menjadi provinsi tersendiri – terpisah dari pulau Lombok. Terlepas dari itu, tulisan ini mencoba menelaah lebih luas dari tau samawa atau orang-orang Sumbawa yang dicitrakan melalui slogan Sabalong Samalewa.

Sebagai orang bukan asli Sumbawa, saya pertamakali sempat kewalahan mencari arti sebenarnya dari slogan tersebut. Beberapa sahabat dan keluarga yang berasal dari Sumbawa pun kurang memahami makna dan maksud dari slogan sabalong samalewa. Tetapi, dalam konteks komunikasi keseharian, secara tidak sadar kata-kata itu sering terlontarkan. Hal ini, misalnya saat orang yang akan berpergian akan mengucapkan kata-kata “balong-balong mo” yang berarti mengingatkan keluarga atau sahabat untuk hati-hati di jalan. Kata-kata tersebut bukan berarti memiliki arti sekedar mengingatkan untuk ‘hati-hati’, tetapi lebih dari itu, mendoakan agar jangan lupa, lengah, dan terus ingat dalam kondisi apa pun. Pada kata-kata itu, terkandung makna semangat untuk saling ingat, saling membahu, dan peduli terhadap siapa pun. Secara umum, makna dari slogan sabalong samalewa diartikan sebagai semangat untuk berkerjasama, gotong royong, tolong menolong. Dan semangat inilah yang seharusnya terdeskripsikan dalam kegiatan sehari-hari tau samawa.

Dalam sejarahnya, tau samawa termasuk orang-orang yang memiliki semangat bekerjasama yang tinggi. Bekerjasama dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Hidup berdampingan dan saling membahu satu dengan yang lain. Berbuat baik kepada sesama untuk memikul yang berat dan menjinjing yang ringan. Sikap bekerjasama ini pula yang terus digalakan dalam dunia perdagangan. Sebagaimana diketahui bahwa tau samawa adalah memiliki tradisi barter sebagai bagian dari nilai-nilai luhur nenek moyangnya untuk menghindari “meminta-minta” atau mengemis. Sebagian dari tau samawa selain menjadi pertani, masyarakatnya dikenal dengan pembisnis (berdagang). Dari kegiatan bertani dan berdagang inilah, slogan sabalong samalewa menjadi point tersendiri bagi tau samawa. Wujud dari slogan tersebut terdeskripsikan melalui bahasa asli Samawa, yakni saling tulung, saling tulang dan saling totang (ST3)

ST3 Sebagai Tradisi Luhur Tau Samawa

Sebagai bagian dari masyarakat, seseorang tidak akan pernah melupakan manusia lain dalam kehidupan pribadinya. Bantuan dan pertolongan orang lain menjadi keniscayaan. Entah itu orang-orang terdekatnya, ibu, bapak, kakak atau sanak famili atau pun orang yang bukan hubungan kekeluargaan. Sebagai pribadi misalnya, masalah-masalah privasi pun terkadang menjadi konsumsi orang tertentu yang dianggap paling dekat yang dapat memahami dirinya dan ia yakini dengan berbagi dengannya akan merasakan ketenangan, kenyamanan meskipun tidak ditemukan jalan penyelesaian (curhatan). Pada intinya, orang lain akan menjadi kepastian yang hidup dalam menghadapi ujian kehidupan.

Saling tulang/saling tele’ (saling lihat) dapat dikatan bagian dari kegiatan fisik karena melibatkan indra penglihatan untuk melihat kondisi saudara atau orang lain. Memang terlihat lebih pada kegiatan fisik, tetapi secara philosofis saling tulang/saling tele’ merupakan langkah awal untuk menumpahkan kepedulian sosial. Dimensi sosialnya terlihat saat seseorang mau mengerti bagaimana orang lain; satu sama lain dapat memahami kehidupan tetangganya, memahami kekurangannya dan mau berbagi (saling tulung) terhadap keluarga/tetangga yang kehidupannya dalam kondisi ‘kekurangan’. Dengan memerhatikan tradisi saling tulang/tele’ akan terciptalah lingkungan yang sehat, tidak yang kaya dengan kekayaan sendiri, tidak ada seseorang ketika sakit tidak bisa berobat atau kebutuhan untuk makan masih dapat saling memberi. Hidup dalam suasana saling ‘pengertian’ dan sangat simpatik.

Saling Totang/notang sebagai rasa kepedulian yang sangat mendalam dari seseorang untuk mengingat dan mengingatkan siapa pun yang telah berkenalan dengan diri kita. Totang untuk nama-nama keluarga, baik yang langsung berhubungan dengan keluarga dekat atau pun yang jauh hubungannya. Totang untuk kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan kepada kita. Totang untuk orang-orang sedang dalam keadaan ‘lupa diri’ untuk diingatkan. Totang untuk islah bagi mereka yang terpecah. Totang dalam setiap pristiwa dan kejadian masa lalu. Dengan saling totang akan terjauh dari sifat dengki dan cela, jauh dari perpecahan dan permusuhan, dan tentu saja akan mendatangkan kenyaman dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi saling totang bukanlah hal yang mudah. Hal ini disebabkan saling totang adalah proses untuk mengingat hal-hal yang baik dari diri seseorang dan melupakan keburukan yang telah dilakukan. Masa lalu dan masa kini adalah pristiwa yang seyogyanya menjadi muara kebaikan yang hidup ditengah masyarakat.

Seperti hal saling tulang dan saling totang, saling tulung sebagai dimensi kepekaan sosial dan tingkat religiusitas seseorang. Agama menyebutkan dengan istilah ‘taawuun’: tolong menolong. Sifat saling tulung/taawuun ini sebagai tingkatan ke tiga setelah seseorang saling mengenal (taaruf), dan saling memahami (tafahum). Selalu seimbang dalam segalah hal. Tidak berat sebelah. Dan seperti itulah, tau samawa harus menjaga nilai-nilai luhur itu sebagai bagian yang hidup di tengah masyarakat. Namun praktiknya, sifat ini semakin tergerus khususnya di kota-kota besar (metropolitan). Sifat individualis membuat seseorang enggan dan saling menjauhi, kurangnya komunikasi yang pada akhirnya hidup serba individu. Kegiatan-kegiatan yang seharusnya terselesaikan secara bermasyarakat menjadi kepentingan diri sendiri. Pada akhirnya, dasar-dasar philosofis ‘saling tulang, saling totang & saling tulung’ sebagai manifestasi dari slogan sabalong samalewa mudahan terus terjelmakan dalam kehidupan bermasyarakat tau sawama secara khusus mau kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks yang lebih luas. Seperti slogan yang tertera pada papan nama pemerintah Sumbawa “Sabalong Samalewa” [24/01/2015].

Sumber: https://lukmanabdullah89.wordpress.com/2015/01/30/tau-samawa-dalam-slogan-sabalong-samalewa/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun