Dalam perjalanan panjang peradaban manusia, banyak kebudayaan yang telah mengembangkan pengetahuan tentang dunia sekitar mereka, yang meskipun tidak diajarkan dengan cara formal, tetapi tetap sarat dengan nilai-nilai ilmiah dan logika matematika. Pengetahuan tersebut dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang tampaknya sederhana namun sejatinya mengandung pengetahuan yang sangat mendalam. Salah satu contoh menarik dari penerapan prinsip-prinsip matematika dan sains dalam tradisi budaya adalah dalam kebiasaan nginang di Indonesia dan praktik yoga yang berasal dari India. Meskipun berasal dari budaya yang berbeda, kedua praktik ini memiliki kesamaan dalam penerapan konsep-konsep ilmiah dan matematika dalam cara yang sangat alami dan intuitif. Artikel ini akan membahas bagaimana etnomatematika dan sains terlibat dalam kedua tradisi tersebut, menggali lebih dalam penerapan prinsip-prinsip ilmiah dalam kebiasaan dan praktik yang telah ada berabad-abad lamanya.
1. Nginang: Tradisi Mengunyah Sirih yang Mengandung Elemen Matematika dan Sains
Nginang merupakan kebiasaan mengunyah sirih yang telah menjadi bagian dari budaya Indonesia, terutama di daerah Sumatra, Kalimantan, dan Jawa, tradisi ini adalah praktik yang sarat dengan nilai-nilai sosial, budaya, serta kesehatan. Meskipun pada pandangan pertama nginang tampaknya hanya merupakan sebuah kebiasaan sosial yang dilakukan untuk bersosialisasi atau sekadar tradisi, namun sebenarnya kebiasaan ini mengandung banyak prinsip dasar matematika dan sains yang tidak langsung terlihat.
Dalam praktik nginang, ada berbagai elemen yang melibatkan pengaturan komposisi bahan, pembagian proporsi, dan simetri yang semuanya memiliki kaitan dengan konsep-konsep matematika yang fundamental.
Simetri dan Pola dalam Penyusunan Nginang
Salah satu aspek menarik dalam nginang adalah bagaimana masyarakat menyusun bahan-bahan untuk membuat nginang, yang terdiri dari daun sirih, gambir, kapur, dan rempah-rempah. Penyusunan ini dilakukan dengan cara yang sangat teratur dan memiliki pola tertentu. Daun sirih sering kali dilipat dengan rapi, kemudian bahan lainnya ditambahkan sesuai dengan urutan yang telah disepakati. Pola-pola ini bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan rasa atau fungsi, tetapi juga mencerminkan konsep simetri dan geometri. Dalam ilmu matematika, simetri mengacu pada kesamaan bentuk yang ada pada berbagai orientasi atau bagian dari suatu objek. Begitu pula dalam nginang, pola simetri ini terlihat dalam penyusunan bahan-bahan yang serasi, di mana masing-masing bahan memiliki peran dan tempat yang saling melengkapi. Konsep simetri dalam nginang menggambarkan sebuah struktur matematis yang terjalin dengan harmonis. Pola-pola ini juga menunjukkan bagaimana budaya masyarakat tradisional menerapkan konsep-konsep geometri secara alami dalam kehidupan sehari-hari, tanpa perlu pemahaman formal mengenai geometri.
Pengukuran dan Proporsi dalam Nginang
Selain simetri, nginang juga sangat mengandalkan proporsi dan pengukuran yang sesuai. Meskipun masyarakat tidak menggunakan alat ukur formal seperti timbangan, mereka memiliki pemahaman yang baik tentang berapa banyak masing-masing bahan yang harus digunakan. Sebagai contoh, mereka tahu seberapa banyak gambir atau kapur yang dibutuhkan untuk mendapatkan rasa atau efek yang tepat. Pengetahuan ini diwariskan melalui pengalaman dan praktek, dan meskipun tidak menggunakan angka atau alat ukur, mereka secara intuitif memahami bahwa keseimbangan dalam jumlah bahan sangat penting. Dalam ilmu matematika, proporsi adalah konsep yang sangat mendasar, di mana kita membandingkan jumlah atau ukuran dua hal yang berbeda. Dalam konteks nginang, proporsi ini diterapkan untuk menjaga keseimbangan rasa dan efek yang muncul dari konsumsi bahan-bahan tersebut. Misalnya, jika salah satu bahan ditambahkan terlalu banyak, efeknya bisa berubah, seperti rasa yang terlalu pahit atau efek samping yang berlebihan. Oleh karena itu, pengaturan proporsi dalam nginang adalah salah satu contoh sederhana bagaimana prinsip matematika yang sangat mendasar diterapkan dalam kehidupan nyata.
Fraktal dalam Pembagian Bahan
Salah satu aspek yang lebih halus dalam tradisi nginang adalah pola pembagian bahan yang digunakan. Ketika daun sirih dipotong atau dibagi, bentuk pembagiannya seringkali mengulangi pola yang sama dalam skala yang lebih kecil, yang bisa kita kaitkan dengan konsep fraktal dalam matematika. Fraktal adalah pola yang berulang pada berbagai skala atau tingkat. Pembagian daun sirih dan bahan lainnya dalam nginang menunjukkan adanya pola yang mengulang dirinya pada berbagai tingkat, meskipun tidak secara eksplisit diukur atau digambar. Dalam matematika, fraktal adalah struktur yang memiliki kesamaan bentuk pada tingkat yang lebih kecil atau lebih besar. Fenomena ini juga dapat ditemukan dalam pembagian bahan nginang, di mana masing-masing elemen bahan, meskipun terpisah, tetap menjaga pola yang konsisten dari awal hingga akhir. Pengamatan terhadap pola-pola ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip fraktal juga dapat diterapkan dalam kebiasaan budaya yang sudah ada sejak lama.