Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Prinsip Bebas Aktif dalam Diplomasi Indonesia Mewujudkan

18 Mei 2024   14:38 Diperbarui: 28 Mei 2024   17:33 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- KOMPAS/HERYUNANTO

Prinsip bebas aktif telah menjadi landasan utama bagi politik luar negeri Indonesia sejak kemerdekaan. Prinsip ini pertama kali dicetuskan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam pidatonya pada 2 September 1948 yang berjudul "Mendayung di Antara Dua Karang".

Menurut Hatta, Indonesia harus menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, yaitu tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagai negara merdeka (Hatta, 1953). Tujuan kebijakan ini adalah agar Indonesia bisa menentukan sikap dan pandangannya sendiri terhadap persoalan-persoalan internasional.

Selain itu, kebijakan luar negeri bebas dan aktif menempatkan Indonesia tidak menjadi objek dalam pertarungan politik internasional. Alih-alih menjadi obyek, Indonesia bahkan dapat mengambil peran sebagai salah satu kekuatan menengah (middle power) dalam hubungan internasional yang dinamis pada saat ini.

Dalam perkembangannya, prinsip bebas aktif ini menjadi landasan bagi Indonesia dalam mengelola isu-isu strategis kawasan, termasuk sengketa Laut China Selatan. Indonesia bukan merupakan salah satu claimant state dalam konflik tersebut.

Namun demikian, sebagai negara pantai yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, Indonesia memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas dan keamanan di kawasan. Hal ini penting untuk mempertahankan kedaulatan wilayah Indonesia, termasuk di Kepulauan Natuna yang berbatasan dengan Laut China Selatan.


Untuk itu, Indonesia menerapkan pendekatan bebas aktif dalam diplomasinya terkait Laut China Selatan. Indonesia berupaya untuk tidak berpihak pada salah satu claimant state, baik itu China/Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, maupun Brunei Darussalam.

Sebaliknya, Indonesia mengambil posisi netral sebagai honest broker yang mendorong penyelesaian sengketa secara damai melalui dialog dan negosiasi (Pattiradjawane & Soebagjo, 2015). Indonesia juga secara aktif mengusulkan berbagai inisiatif kerja sama di Laut China Selatan untuk mengalihkan isu sengketa ke arah kerja sama yang saling menguntungkan.  

Salah satu inisiatif utama Indonesia adalah mengubah Laut China Selatan dari "laut sengketa" menjadi "laut perdamaian" (sea of peace). Pada KTT Asia Timur di Nay Pyi Taw, Myanmar tahun 2014, Presiden Joko Widodo menyampaikan visi untuk menjadikan Laut China Selatan sebagai "laut persahabatan dan kerja sama" (Widodo, 2014).

Dalam konteks itu, Indonesia mendorong semua pihak untuk menahan diri, tidak melakukan aktivitas yang dapat meningkatkan ketegangan, dan mematuhi hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982. Indonesia juga mempromosikan kerja sama praktis, seperti keselamatan navigasi, perlindungan lingkungan laut, penanggulangan bencana, dan sebagainya (Kementerian Luar Negeri RI, 2017).

https://jurnalis.co.id/2024/05/09/navigasi-diplomatik-menjaga-kedaulatan-maritim-indonesia-di-tengah-ancaman-konflik-laut-china-selatan/
https://jurnalis.co.id/2024/05/09/navigasi-diplomatik-menjaga-kedaulatan-maritim-indonesia-di-tengah-ancaman-konflik-laut-china-selatan/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun