Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Diskriminasi Uni Eropa terhadap Kelapa Sawit Indonesia

22 Januari 2021   04:59 Diperbarui: 22 Januari 2021   05:00 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu persoalan penting yang harus dihadapi Indonesia adalah diskriminasi Uni Eropa (UE) terhadap kelapa sawit Indonesia. Ada banyak isu yang muncul, sehingga kadang-kadang membingungkan. Ini khususnya berkaitan dengan isu utama yang dipersoalkan UE. 

Pemerintah Indonesia tentu saja melawan diskriminasi UE dan selalu memperjuangkan komoditas unggulan Indonesia ini di pasar internasional. Tim Indonesia dari Kementerian Perdagangan (Kemdag) dan Kemlu pun sedang menyusun gugatan ke World Trade Organization (WTO).

Kelapa sawit memang telah menjadi salah satu komoditas andalan dan penyumbang devisa terbesar. Sebagai negara penghasil sawit, Indonesia memproduksi minyak kelapa sawit sekitar 46 juta ton per tahun. Berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) selama 2018 sebesar 34,71 juta ton, naik delapan persen dibandingkan 2017. 

Selain itu, produk turunan CPO seperti refined CPO dan minyak laurat juga mengalami kenaikan cukup signifikan. Dari tahun ke tahun, komoditas yang dianggap sebagai emas hijau ini bertumbuh, meskipun berbagai isu negatif menghadang.

Masalah
Dari beberapa sumber dapat dicatat bahwa sejumlah persoalan mengenai kelapa sawit Indonesia berasal dari UE dan laporan sebuah media Amerika.

Pertama, pemberlakuan bea masuk anti-subsidi (BMAS) UE terhadap produk impor biodiesel dari Indonesia. Pada Maret 2019, Komisi UE mengategorikan minyak sawit sebagai produk yang ‘tidak berkelanjutan’ sehingga tidak bisa digunakan sebagai bahan baku biodiesel.

Kedua, Indonesia dianggap sebagai pelaku deforestasi tertinggi untuk memenuhi kebutuhan lahan bagi kelapa sawit. Kenyataannya, luas perkebunan kelapa sawit secara keseluruhan hanya sekitar 6,6 persen dari total lahan dunia.

Ketiga, UE menggunakan regulasi "Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive II/RED II) Uni Eropa beserta aturan teknisnya. Dengan regulasi itu, tanaman pangan yang dianggap berisiko tinggi pada lingkungan akan dibatasi penggunaannya dan dihapuskan secara bertahap dari pasar bahan bakar nabati UE. Akibatnya, kelapa sawit ikut ditetapkan sebagai tanaman pangan berisiko tinggi.

Masalah keempat, laporan Associated Press (AP) tentang perkebunan sawit Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia. Dalam laporannya yang terbit Rabu (18/11/2020), AP menulis 'perlakuan brutal' yang terjadi dalam produksi minyak sawit terhadap pekerja perempuan.

Selain persoalan-persoalan di atas, beberapa negara melakukan kampanye negatif. Sebuah LSM, Uniterre, di Swiss telah melakukan kampanye negatif untuk memboikot kelapa sawit Indonesia sejak Juni 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun