Mohon tunggu...
Luh Putu Dhita Candra Astuti
Luh Putu Dhita Candra Astuti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha

Semester 1

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Perayaan Galungan bagi Wanita yang Berhalangan

9 November 2021   10:02 Diperbarui: 9 November 2021   15:19 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Baju kebaya yang dikenakan diharapkan berwarna putih atau kuning sebagai simbol kesucian, kemudian baju kebaya yang digunakan harus sesuai dengan kaidah yang berlaku yakni tidak menggunakan bahan kain yang terawang atau transparan sehingga menampakkan siluet badan, untuk model baju kebaya yang dikenakan masih belum terdapat aturan yang mengikat selagi masih dalam batas wajar. 

Selain itu kamen yang digunakan juga harus diperhatikan ketentuannya, kamen yang digunakan hendaknya menutupi mata kaki sehingga panjang kamen yang digunakan setidaknya harus disesuaikan agar tidak terlalu pendek sehingga menampakkan paha. Hal tersebut sangat wajar bagi saya untuk diperhatikan, sebab sebagai manusia yang memiliki akal dan budi maka sudah seharusnya memiliki etika ketika berpakaian, terutama ketika akan memasuki Pura atau Merajan, maupun bangunan suci lainnya. 

Memang dapat dikatakan susah menjadi wanita Hindu, tapi memang inilah kenyataannya. Tidak hanya tata cara berpakaian, bahkan tata rambut pun terdapat aturannya. 

Wanita Hindu ketika memasuki area Pura ataupun Merajan diharapkan untuk dapat mengikat rambut. Selain sebagai suatu penerapan kesopanan dan kerapian, dalam hal tersebut juga terdapat suatu legenda mengapa rambut seorang wanita setidaknya diikat ketika memasuki Pura atau Merajan. Sebab berdasarkan legenda, rambut wanita yang terurai ketika memasuki area Pura atau Merajan dianggap sebagai suatu bentuk kemarahan sebab ketika Dewi Parwati marah dan kemudian berubah menjadi Mahakali, maka rambutnya akan terurai.

Selain itu legenda Dewi Drupadi yang enggan untuk mengikat rambutnya sebelum dibasuh dengan darah Dursasana juga menjadi dasar kepercayaan mengapa wanita Hindu setidaknya dapat mengikat rambutnya ketika memasuki area Pura atau Merajan.

Sebenarnya terdapat juga beberapa aturan yang juga mengikat kepada kaum pria, namun hal tersebut lebih ditekankan lagi pada kaum wanita. Kendati demikian, wanita Hindu juga memiliki kekuatan yang luar biasa. Sebab jika dilihat dari rangkaian persiapan hari suci Galungan maupun Kuningan para wanita Hindu dari pagi hingga ke pagi lagi masih saja memiliki aktivitas. 

Belum lagi jika sudah menjadi ibu rumah tangga, maka aktivitas ketika hari raya suci Galungan maupun Kuningan akan semakin bertambah. Meski demikian, wanita Hindu tetap dapat mengampu tugas tersebut. Meskipun sedang berhalangan, hal tersebut tidak menyurutkan niat para wanita Hindu untuk dapat menuntaskan tugas dan kewajiban meskipun pada akhirnya dilarang untuk dapat mengikuti persembahyangan di Pura ataupun Merajan. 

Para wanita Hindu yang berhalangan sehingga tidak dapat datang ke Pura ataupun Merajan tetap mendapatkan hak untuk memperoleh tirta suci dari Pura atau Merajan. Biasanya tirta tersebut dimintakan oleh pihak keluarga dengan menggunakan tempat tirta atau plastik, namun terkadang dari pihak Pura atau Merajan juga menyediakan serta menempatkan secara langsung tirta suci tersebut pada banten ketika para individu yang bertugas atau sedang Ngayah mengambil uang sesari sebagai bentuk dana punia. Derajat wanita yang sedang berhalangan maupun tidak berhalangan tidak dibedakan oleh agama maupun tradisi, hanya saja wanita yang berhalangan tidak diperkenankan untuk masuk ke Pura ataupun Merajan demi menjaga kesucian tempat tersebut.  

Hari raya suci Galungan yang kerap dirayakan sebagai bentuk kemenangan Dharma melawan Adharma sebenarnya memiliki makna mensyukuri anugerah yang telah dilimpahkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa kepada umat manusia. Sedangkan Dharma yang dimaksud adalah niatan suci nan tulus ikhlas dalam pelaksanaan setiap rangkaian hari raya suci Galungan, dan Adharma merupakan sifat malas, pamrih, serta kemarahan. Oleh karena itu, dalam hal ini wanita Hindu diuji akan hal tersebut. Apakah para wanita yang terutama berhalangan dapat tetap melaksanakan kewajiban pada setiap rangkaian pelaksanaan hari raya suci Galungan meskipun dalam kondisi berhalangan yang dimana para wanita Hindu yang berhalangan sudah mengetahui bahwa mereka tidak akan diperbolehkan untuk mengikuti kegiatan persembahyangan di Pura atapun Merajan. 

Dilema yang dirasakan oleh setiap wanita yang berhalangan ketika pelaksanaan hari raya suci Galungan tidak menjadi halangan bagi para wanita untuk tetap menuntaskan kewajiban sebagai kodratnya dengan tetap melaksanakan kewajiban dengan tulus ikhlas. Hal tersebut sekiranya sudah dapat membuktikan seberapa tangguh wanita Hindu dalam menjalankan kewajibannya.

Luh Putu Dhita Candra Astuti, Jurusan Pendidikan Dasar/S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pendidikan Ganesha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun