Mohon tunggu...
Louw VinaAmbar
Louw VinaAmbar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Tetap tersenyum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Candi Pari dan Candi Sumur Wisata Sejarah di Sidoarjo

7 Desember 2021   09:26 Diperbarui: 7 Desember 2021   09:31 1744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Banyak yang belum mengetahui jika Sidoarjo juga memiliki wisata sejarah yaitu sebuah bangunan peninggalan Hindu yang berdiri berkisar tahun 1293 saka atau 1371 masehi. Bangunan ini adalah sebuah candi yang konon dibangun pada masa kejayaan Majapahit dibawah kepemimpinan Prabu Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada. Bangunan ini diberi nama Candi Pari.

Candi Pari ditemukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tanggal 16 oktober 1906. Dilihat pada gaya arsitektur bangunan candi ini banyak mendapat pengaruh dari budaya Kerajaan Champa (Sekarang Vietnam) dan Kerajaan Khmer (Sekarang Kamboja). Sekitar 100 meter dari lokasi candi pari kita dapat menemukan bangunan bersejarah lainnya yaitu candi sumur. Saat awal penemuan, terdapat beberapa arca. Yakni dua arca Mahadewa, dua arca Agastya, tujuh arca Ganesha, dan dua arca Buddha. Arca-arca tersebut telah diamankan di Museum Nasional, Jakarta. Kini Candi Pari dan Candi Sumur menjadi salah satu destinasi yang bisa dikunjungi, baik untuk berwisata sejarah, maupun pendidikan.

Candi Sumur terbuat dari bata merah berbentuk bujur sangkar dengan ukuran sekitar 16 meter persegi dengan tinggi 10 meter, menghadap barat. Secara vertical bangunan candi sumur terdiri dari bagian bawah atau kaki, tubuh, dan atap yang kini sudah tidak utuh. Pada bagian tubuh dari candi sumur terdapat bilik kosong. Konon, dahulu tersimpan sebuah arca lingga -- yoni didalamnya. Letak yang dekat antara candi sumur dan candi pari membuat keduanya memiliki asal -- usul dan sejarah yang hampir sama, bahkan yang saling berkaitan satu sama lain.

Menurut cerita yang beredar terdapat legenda terkait pembangunan candi era Raja Hayam Wuruk tersebut. Konon, zaman itu hidup seorang pertapa bernama Kyai Gede Penanggungan. Ia tinggal bersama sang adik, Nyai Ijingan yang sudah menjanda. Sang kyai berputri dua orang, diberi nama Nyai Lara Walang Sangit dan Nyai Lara Walang Angin. Sedangkan Nyai Ijingan berputra seorang, Jaka Walang Tinunu.

Suatu ketika, Jaka Walang Tinunu memancing bersama dua sahabatnya, Satim dan Sabalong. Sekian lama menunggu kailnya disantap ikan, tiba-tiba muncul ikan Deleg. Tak disangka, ikan itu adalah jelmaan seorang manusia. Ikan Deleg itu pun menampakkan wujud aslinya, seorang pemuda tampan. Jaka Walang Tinunu pun takjub. Karena pemuda itu sangat ramah, keduanya pada akhirnya bersahabat.

Singkat cerita, Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan bekerja sama membuka sawah di sekitar pertapaan Kyai Gede Penanggungan. Keduanya sangat ulet bekerja. Tiada waktu untuk berleha-leha. Nyai Lara Walang Sangit dan Nyai Lara Walang Angin kerap memperhatikan keduanya. Meski malu-malu, ternyata Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan sama-sama menaruh hati.

Mengetahui hal ini, Kyai Gede Penanggungan berupaya mencegah ikatan cinta dua pasang pemuda dan pemudi itu. Sedangkan Jaka Walang Tinunu terlanjur jatuh hati pada Nyai Lara Walang Sangit. Demikian pula Jaka Pandelegan jatuh hati pada Nyai Lara Walang Angin. Apa daya, rasa cinta di antara mereka kian tumbuh subur. Kian dilarang, kian menguat. Hingga akhirnya dua pasang kekasih itu memutuskan untuk melanjutkan hubungan ke pelaminan.

Kontan saja Kyai Gede Penanggungan tak merestui hal itu. Namun pernikahan tetap berjalan. Selepas menikah, mereka tetap giat bekerja. Alhasil, sawah yang digarap tumbuh subur. Panen pun melimpah. Berita hasil sawah yang melimpah ini sampai ke telinga Maharaja Sri Rajasanagara alias Hayam Wuruk. Saat itu masyarakat tengah susah. Para petani menghadapi paceklik.

Sang raja kemudian mengirim utusan kepada Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan. Pesannya, agar hasil panen dibagikan kepada warga yang membutuhkan. Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan tak keberatan. Mereka kemudian membagi-bagikan hasil panen ke warga lainnya.

Raja keempat Majapahit itu pun senang. Sebagai penghargaan, keduanya dipanggil ke istana. Tujuannya akan diangkat sebagai keluarga kerajaan. Sayang, permintaan itu ditolak. Berbagai bujuk rayu pun dilancarkan oleh raja. Keduanya tetap pada pendirian. Hingga akhirnya, sang raja turun sendiri mendatangi tempat tinggal Jaka Pandelegan. Tiada disangka, Jaka Pandelegan menghindar dan menghilang di lumbung padi miliknya. Sedangkan, Nyai Lara Walang Angin menghilang di sumur, dekat dengan lumbung. Ternyata keduanya memilih moksa.

Melihat kenyataan itu, sang raja sedih. Namun di sisi lain kagum dengan keteguhan hati Jaka Pandelegan beserta istrinya. Oleh raja, kemudian diperintahkan membangun candi. Candi tempat menghilang Jaka Pandelegan kini dikenal bernama Candi Pari. Sementara tempat sang istri dikenal dengan nama Candi Sumur. Dalam bahasa jawa pari itu adalah padi. Kedua candi ini dipercaya berpasangan. Candi Pari diibaratkan sebagai lanang (laki-laki), sedangkan Candi Sumur diibaratkan wedok (perempuan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun