Tak terasa, 20 Oktober menandai setahun pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Dalam waktu sesingkat itu, banyak yang berubah --- dari wajah diplomasi, arah kebijakan, hingga cara Indonesia memposisikan diri di panggung dunia.
Di bawah kepemimpinan Prabowo, Indonesia tampak lebih aktif berbicara di forum global. Setelah satu dekade absen, Indonesia kembali tampil di Sidang Umum PBB, dan kehadiran Prabowo di KTT Perdamaian Gaza di Mesir pada Oktober lalu menjadi sorotan dunia.Â
Ia tidak hanya hadir sebagai kepala negara, tetapi membawa pesan moral: "Indonesia tidak akan diam ketika kemanusiaan diinjak."
Kalimat itu menjadi semacam sinyal perubahan. Politik luar negeri Indonesia kini tak lagi hanya tentang perdagangan, investasi, atau stabilitas, tetapi tentang keberanian moral --- sesuatu yang jarang terdengar sejak lama.Â
Banyak pengamat menyebut ini sebagai kebangkitan "diplomasi pertahanan," tetapi di balik istilah itu, ada hal yang lebih menarik: sebuah pergeseran dari realpolitik ke arah real moralpolitik.
Pertanyaannya: benarkah Indonesia sedang bergeser dari politik berbasis kepentingan menuju politik berbasis nurani?
Dari Realpolitik ke Diplomasi Bernurani
Selama puluhan tahun, diplomasi Indonesia dikenal "aman dan hati-hati." Kita dikenal sebagai negara yang bebas aktif, tapi dalam praktiknya sering kali "lebih bebas daripada aktif."Â
Pemerintah sebelumnya cenderung menjaga jarak aman agar tak terseret konflik global. Semua demi kepentingan pragmatis: stabilitas politik dan ekonomi.
Namun, setahun terakhir ini menunjukkan arah berbeda. Prabowo tampak ingin menghidupkan kembali roh diplomasi Indonesia seperti era Bung Karno: vokal, tegas, tapi tetap rasional.Â
Bedanya, kali ini ia membungkusnya dengan istilah baru --- diplomasi pertahanan.