Ada suatu keheranan yang kadang muncul ketika kita mendengar angka seperti "desiliun." Satu dengan 33 nol di belakangnya.Â
Kita hampir tak pernah menggunakan angka sebesar itu dalam kehidupan sehari-hari: membeli sembako, menghitung orang di kereta, atau membayar tagihan listrik.Â
Lalu kenapa manusia dulu menciptakan nama-nama bilangan sangat besar seperti desiliun? Apa gunanya? Apakah hanya untuk "pamer" angka? Atau ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya?
Sejarah Singkat dan Kelahiran Ide Angka Superbesar
Manusia sejak lama mengenal konsep angka besar. Ketika perdagangan mulai menjangkau wilayah yang lebih luas, ketika astronomi memperlihatkan langit yang luas, bilangan-bilangan besar menjadi penting.Â
Namun, nama "desiliun", "noniliun", "kuadriliun", dan sebagainya bukan muncul begitu saja tanpa konteks.
Di abad pertengahan dan sesudahnya, terutama di Eropa, perkembangan matematika dan ekonomi membuat kebutuhan mencatat dan menyebut angka yang makin tinggi menjadi nyata.Â
Misalnya saat mencatat jumlah pajak, belanja militer, populasi besar, atau harta kekayaan kerajaan. Maka istilah-istilah seperti milyar, triliun mulai masuk ke dalam kosa kata formal.Â
Dalam bahasa kita, istilah tersebut diserap dari bahasa asing namun kemudian disesuaikan dengan pelafalan.
Namun, ketika kita naik ke bilangan seperti kuintiliun, sekstiliun, oktiliun, noniliun, hingga desiliun, hampir tak ada catatan sejarah bahwa bilangan-bilangan ini pernah digunakan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam administrasi keuangan negara, statistik populasi, atau perdagangan.Â
Mereka lebih banyak ada dalam teori matematika---bahwa manusia bisa menyebutnya, menciptakannya sebagai bagian dari sistem numerik yang konsisten---daripada sebagai angka yang benar-benar dipakai.