Generasi Z (1997--2010-an) adalah digital native. Sejak kecil mereka hidup dengan internet dan media sosial. Eksistensi mereka terlihat dalam peran sebagai pencipta tren budaya digital, inovator startup, hingga motor penggerak gerakan sosial berbasis media.Â
Sementara itu, Generasi Alpha (2010--2025) disebut super digital native, karena sejak bayi sudah dikelilingi AI, gadget, dan ekosistem digital penuh. Mereka diproyeksikan sebagai arsitek dunia baru hasil disrupsi.
Kolaborasi lintas generasi menjadi kunci agar tidak ada yang tertinggal. Baby Boomers menyumbang pengalaman dan nilai kerja keras, Gen X dan Milenial menjembatani perubahan, Gen Z memimpin inovasi, dan Alpha kelak membangun ekosistem digital global.Â
Kolaborasi ini tampak, misalnya, dalam bisnis keluarga: orang tua memberi arah nilai, Milenial mengelola digitalisasi, sementara Gen Z memperkuat pemasaran lewat media sosial.
Namun, disrupsi juga membawa tantangan serius. McKinsey Global Institute (2019) memperkirakan 375 juta pekerja global harus berganti profesi pada 2030 karena otomatisasi.Â
Generasi tua rentan tersisih, sementara generasi muda menghadapi risiko kesehatan mental akibat intensitas digital.Â
Kesenjangan digital menambah masalah: BPS (2022) mencatat literasi digital Indonesia masih timpang antarwilayah.
Eksistensi generasi dalam arus disrupsi pada akhirnya ditentukan oleh kemampuan beradaptasi. Tidak ada yang benar-benar siap, tetapi semua punya peran berbeda.Â
Tantangan ini bukan soal siapa yang paling muda atau paling canggih, melainkan bagaimana setiap generasi bisa menemukan relevansi dan saling melengkapi.
Disrupsi adalah keniscayaan. Ia bukan sekadar ancaman, melainkan peluang untuk menciptakan masa depan baru.Â
Pertanyaan yang tersisa untuk kita semua adalah: apakah akan sekadar bertahan, atau mengambil peran aktif membentuk arus disrupsi bersama lintas generasi?