Pernahkah kita membayangkan seperti apa dunia seorang anak ketika rumah yang ia kenal tiba-tiba terbelah dua? Bagi orang dewasa, perceraian mungkin dianggap sebagai jalan keluar terbaik dari pertengkaran atau konflik rumah tangga yang tidak bisa lagi disatukan. Namun, bagi seorang anak, perceraian bisa menjadi titik awal dari goresan luka yang sulit dihapus.
Di Indonesia, angka perceraian setiap tahun terus menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022 tercatat lebih dari 516 ribu kasus perceraian yang diputuskan di pengadilan agama. Jumlah ini bukan hanya angka di atas kertas, melainkan representasi dari ratusan ribu keluarga yang harus menghadapi kenyataan pahit berpisah, dan jutaan anak yang terdampak.
Ironisnya, dalam setiap kisah perceraian, perhatian publik lebih sering tertuju pada drama pasangan yang berpisah. Padahal, anak-anak yang berada di tengah pusaran konflik sering kali menjadi pihak yang paling menderita. Mereka kehilangan stabilitas rumah tangga, kehilangan kehangatan yang dulu menyelimuti, dan kadang kehilangan sebagian dari identitas dirinya.
Anak: Pihak yang Sering TerlupakanÂ
Ketika perceraian terjadi, masyarakat kerap kali lebih fokus pada bagaimana pasangan yang berpisah membangun kembali kehidupan masing-masing. Berapa besar harta gono-gini yang diperebutkan, siapa yang bersalah, atau siapa yang mendapatkan hak asuh. Namun, di balik semua itu, ada anak-anak yang terjebak dalam posisi serba salah. Mereka mencintai kedua orang tuanya, tetapi dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa kedua orang yang mereka cintai tidak lagi tinggal bersama.
Anak-anak sering kali tidak mendapat ruang untuk bersuara. Mereka hanya bisa mengikuti arus keputusan orang dewasa, meskipun keputusan itu mengubah seluruh hidup mereka. Bagi anak yang masih kecil, perpisahan orang tua dapat menimbulkan kebingungan mendalam. Mereka mungkin bertanya-tanya: "Apakah ini salahku?" atau "Apakah aku tidak cukup baik untuk membuat Ayah dan Ibu tetap bersama?"
Studi dari American Psychological Association menunjukkan bahwa anak dari keluarga yang bercerai memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan emosional seperti kecemasan dan depresi dibandingkan anak dari keluarga utuh. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya dampak perceraian terhadap perkembangan emosional seorang anak.
Lebih jauh lagi, anak yang terjebak dalam perceraian sering kali merasa bersalah tanpa alasan yang jelas. Mereka mungkin menganggap bahwa perilaku mereka menjadi pemicu pertengkaran orang tua. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Namun perasaan bersalah ini bisa membekas dan terbawa hingga dewasa, membentuk cara mereka memandang hubungan dan kehidupan.
Selain luka batin, perceraian juga menciptakan tekanan sosial. Anak-anak sering kali harus menjawab pertanyaan dari teman atau tetangga tentang kondisi keluarganya. Tidak jarang mereka merasa malu atau bahkan terasing karena status keluarga yang berbeda. Situasi ini bisa membuat mereka menarik diri dari pergaulan.
Ketidakmampuan orang dewasa untuk memahami posisi anak sering kali memperburuk keadaan. Anak dianggap "akan terbiasa" atau "akan mengerti sendiri seiring waktu." Padahal, justru pada masa transisi inilah mereka paling membutuhkan perhatian, validasi, dan pengakuan atas perasaan yang mereka alami.
Maka jelaslah, dalam dinamika perceraian, anak adalah pihak yang sering kali terlupakan. Padahal luka mereka mungkin jauh lebih dalam dari apa yang terlihat di permukaan.