Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pekerja Rumah Tangga dan Beban Gender

26 Juli 2025   05:53 Diperbarui: 26 Juli 2025   05:53 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka diharapkan "setia," "taat," dan "siap sedia" setiap saat layaknya bagian keluarga meski bukan bagian dari pemberi kerja---sementara hak dasar mereka sebagai pekerja diabaikan.

Semua ini dibungkus dalam narasi pengabdian dan kesetiaan, bukan terkait dengan hak dan kewajiban formal.

Dilansir dari KOMPAS.com, (18/07/2025), seorang ART, Ajeng Astuti dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (17/7/2025), menyatakan bahwa kerja tanpa libur, gaji seadanya, dan bahkan tanpa kontrak tertulis adalah bagian dari kewajiban karena ia anak perempuan pertama yang harus menopang ekonomi keluarga, maka terlihat bagaimana tekanan sosial gender mendikte pilihan hidupnya.

Bukan hanya kondisi ekonomi, konstruksi gender membuat jebakan ganda: mereka merasa memiliki "tanggung jawab moral" yang tak bisa ditolak tanpa dicap ingkar budi. 

Begitu pula pengalaman Yuni Sri Rahayu yang menyadari bahwa meminta kontrak kerja bukan sekadar soal administrasi, tetapi melawan narasi patriarkal yang memaksa perempuan merasa cukup hanya mengabdikan diri (KOMPAS.com).

Namun ketika mereka berani bersuara---meminta kontrak atau menolak pelecehan---respon yang diterima malah berupa pemecatan. Ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi konflik antara "kesetiaan sosial" dan hak pekerja.

Dampak sistemik dari konstruksi gender seperti ini juga memengaruhi struktur bargaining power mereka. Tanpa status formal, tanpa organisasi pekerja yang kuat, dan tanpa jaminan perlindungan hukum---ditambah tekanan sosial yang mengebiri hak asasi dasar---ART kehilangan kekuatan dasar untuk menuntut keadilan.

Mereka pun terbiasa menghadapi kondisi ini sebagai "takdir," padahal sesungguhnya kondisi tersebut bersifat sistemik dan bisa diperbaiki oleh perubahan struktural.

 Apa yang Harus Berubah: Dari Norma hingga Regulasi

RUU PPRT, yang kini masuk ulang ke dalam prolegnas periode 2024--2029, memiliki peluang besar untuk menjadi instrumen perubahan. Namun keberhasilan regulasi tidak hanya tergantung pada isi undang-undangnya, melainkan juga pada kemampuan regulasi tersebut memengaruhi dan diintegrasikan dalam perubahan norma sosial.

Tanpa perubahan paradigma gender, RUU ini dapat terjebak dalam fatamorgana: formalitas kontrak kerja, upah layak, atau jaminan sosial karyawan bisa jadi hanya pamer kepedulian, sementara mental masyarakat tetap menganggap pekerjaan rumah tangga sebagai tugas "perempuan alami."

Pertama, norma sosial yang menyatakan bahwa "perempuan memang harus mengurus rumah" perlu direvisi dengan pendekatan kampanye kesadaran gender. Media, lembaga pendidikan, bahkan budaya populer kebanyakan mengecilkan pekerjaan domestik; padahal pekerjaan tersebut bernilai ekonomi dan sosial tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun