Inilah yang disebut para pemikir pascakolonial sebagai "penghilangan melalui penyeragaman". Identitas lokal dikaburkan agar mudah dimasukkan ke dalam kerangka besar negara dan kolonialisme.Â
Padahal, kalau kita mau membaca lebih teliti, masyarakat seperti Pakpak punya warisan sosial yang sangat kaya dan pantas untuk dikenal lebih luas.
Mengangkat yang Tersembunyi ke Permukaan
Menulis tentang Pakpak bukan hanya soal sejarah. Ini soal memulihkan narasi. Soal membongkar cara berpikir yang terlalu lama membiarkan keragaman tenggelam dalam keseragaman. Dalam konteks ini, arsip kolonial bisa menjadi alat yang berguna --- asalkan dibaca dengan cara yang kritis dan kontekstual.
Kita tidak bisa menganggap arsip kolonial sebagai kebenaran tunggal. Mereka adalah catatan yang dibuat oleh orang luar, dengan kepentingan mereka sendiri. Tapi di dalamnya masih ada suara-suara yang bisa kita dengar: tentang kampung yang menjaga hutan bersama, tentang sistem adat yang menjunjung musyawarah, tentang jaringan kekerabatan yang melintasi gunung dan sungai.
Itulah jejak Pakpak yang tersimpan dalam lembaran tua. Bukan hanya sebagai bahan sejarah, tetapi sebagai pengingat bahwa Indonesia dibangun bukan hanya oleh tokoh-tokoh besar atau pusat kekuasaan, tapi juga oleh kampung-kampung kecil yang menjaga adatnya, mempertahankan ruang hidupnya, dan menghidupi identitasnya.
Mungkin, inilah saatnya kita membaca ulang sejarah --- bukan dari atas, tetapi dari bawah. Bukan dari pusat, tetapi dari pinggiran. Dan di antara pinggiran-pinggiran itu, kita akan menemukan nama-nama seperti Pakpak, yang diam-diam menyimpan kekuatan untuk mengajarkan kita arti keberadaan yang sebenarnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI