Walau tidak ikut mengatur kehidupan sehari-hari, masyarakat tetap menyetorkan upeti atas namanya, yang disebut-sebut akan digunakan untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Aceh saat itu.Â
Di sinilah kita melihat simpul menarik: wilayah adat lokal ternyata memiliki jejaring spiritual dan ideologis yang melampaui batas administratif kolonial.
Sistem Sosial yang Mandiri dan Berlapis
Satu hal yang mencolok dalam catatan Ypes adalah bagaimana ia secara rinci menjabarkan struktur sosial masyarakat Pakpak. Di setiap kampung, ada tiga kelas sosial utama. Pertama, para pemimpin adat yang memiliki otoritas dalam pengambilan keputusan. Kedua, masyarakat biasa yang bebas namun tetap tunduk pada aturan adat. Ketiga, kelompok dari luar --- bisa jadi pendatang atau keturunan budak --- yang hak-haknya lebih terbatas.
Namun struktur ini bukanlah bentuk penindasan, melainkan sistem sosial yang berjalan berdasarkan nilai dan konsensus. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Pakpak menjunjung tinggi prinsip musyawarah dan keadilan. Mereka punya aturan tentang kepemilikan tanah, aturan tentang hak mengumpulkan hasil hutan, bahkan aturan dalam hal pernikahan antar kampung.
Salah satu hal yang menarik adalah bagaimana kampung-kampung Pakpak membentuk aliansi berdasarkan marga dan sejarah pendirian. Tiga kampung yang disebut Pegah, La Baning, dan Perbatsiroen, misalnya, didirikan oleh tiga saudara dan masih memiliki hutan yang mereka kelola bersama.Â
Jika satu kampung diserang atau berselisih dengan kampung luar, dua lainnya akan membantu. Namun, begitu masalah selesai, mereka kembali ke sistem otonomi masing-masing. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Pakpak memahami konsep solidaritas bukan dalam bentuk kekuasaan terpusat, tetapi jaringan sosial yang dinamis.
Bahkan untuk mendirikan kampung baru pun, tidak bisa sembarangan. Harus ada izin dari tokoh-tokoh adat kampung asal. Jika ada yang nekat membangun kampung baru tanpa izin, konflik bisa terjadi --- bahkan sampai pecah perang kecil. Ini menunjukkan betapa seriusnya mereka menjaga tatanan sosial dan keseimbangan kekuasaan di antara mereka.
Ketika Kolonialisme Mengaburkan Identitas
Meski Ypes mencatat banyak hal tentang Pakpak, ia tetap menyebut mereka sebagai bagian dari "Batak Dairi". Di sinilah kita melihat bagaimana sistem kolonial sering kali menyederhanakan realitas sosial yang jauh lebih kompleks.Â
Dalam catatan administratif kolonial, masyarakat dimasukkan ke dalam kategori besar agar mudah diatur: Batak, Aceh, Melayu, dan sebagainya. Padahal, di dalamnya ada ratusan komunitas dengan sejarah, bahasa, dan adat yang berbeda.
Ypes mungkin tidak sadar --- atau justru sangat sadar --- bahwa catatannya ikut membingkai masyarakat Pakpak sebagai bagian dari entitas besar bernama "Batak" yang homogen. Dengan begitu, keunikan mereka perlahan-lahan menghilang dalam narasi sejarah resmi.
Hal ini bukan hanya terjadi di masa lalu. Bahkan sampai sekarang, ketika kita mendengar kata "Batak", yang langsung terbayang adalah Toba atau Mandailing. Nama Pakpak nyaris tidak muncul dalam pelajaran sejarah, tidak disebut dalam buku teks, dan tidak populer dalam narasi budaya nasional.