Filosofi Hidup di Musim BedidingÂ
Oleh: Julianda Boang Manalu
Pagi-pagi ini terasa berbeda. Angin seolah lebih pelan, namun dinginnya menusuk lebih dalam. Jendela kamar berembun, dan lantai serasa es begitu telapak kaki menyentuhnya. Di luar, langit terlihat bersih seolah baru dicuci, sinar matahari muncul malu-malu, tak lagi menyengat seperti biasanya.Â
Ini musim yang biasa kita sebut bediding---musim dingin ala Indonesia, saat udara pagi menyelinap ke dalam kulit dan memaksa tubuh untuk tetap berselimut lebih lama.
Tapi di balik rasa malas bangun pagi, cuaca seperti ini membawa ketenangan yang sulit dijelaskan. Hati terasa lebih tenang, pikiran tak lagi riuh, dan semuanya berjalan dengan irama yang lebih lambat.Â
Anehnya, justru dalam diam dan dingin ini, kita menemukan kehangatan. Kehangatan yang bukan berasal dari selimut atau kopi panas, melainkan dari momen-momen kecil yang selama ini mungkin kita abaikan.
Apa yang bisa kita pelajari dari musim bediding ini? Adakah nilai-nilai hidup yang diam-diam ia bisikkan lewat embun dan angin pagi?Â
Mari kita renungkan bersama dalam tulisan ini: tentang bagaimana musim dingin mengajarkan kita untuk hidup lebih bijak, lebih sederhana, dan lebih hangat satu sama lain.
Pelajaran tentang Penerimaan Hidup
Di musim bediding, tubuh secara naluriah mencari perlindungan. Kita menyelimuti diri dengan sarung, jaket, atau bahkan hanya menggulung kaki ke dalam bantal yang hangat.Â
Kita tak mungkin menolak dinginnya udara pagi; yang bisa kita lakukan hanyalah beradaptasi---menghangatkan diri, bukan mengusir cuaca.
Begitu pula dengan hidup. Ada hal-hal yang tak bisa kita ubah atau kontrol: kegagalan, kehilangan, ketidakpastian.Â