Paylater sebagai 'Soft Loan': Siapkah Regulasi Mengawasi Jerat Baru Anak Muda?
Â
Oleh: Julianda BM
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah paylater semakin akrab di telinga masyarakat, khususnya generasi muda. Dengan iming-iming "beli sekarang, bayar nanti", kemudahan transaksi digital ini menjadi pilihan praktis bagi anak muda yang belum memiliki kartu kredit namun ingin memenuhi kebutuhan konsumtif mereka secara cepat.
Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, muncul pertanyaan mendasar: apakah sistem paylater ini benar-benar aman? Ataukah justru menjadi bentuk baru jerat utang yang belum diatur secara memadai oleh regulasi?
Â
Antara Paylater dan Pinjaman: Batas yang Kabur
Secara sederhana, paylater bekerja layaknya pinjaman jangka pendek. Pengguna melakukan pembelian dan membayarnya nanti, baik dalam satu kali pembayaran maupun dicicil dalam beberapa bulan. Namun, tidak seperti kartu kredit atau pinjaman bank yang diatur ketat oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan), sistem paylater hingga kini masih beroperasi dalam wilayah abu-abu regulasi.
Banyak perusahaan e-commerce dan fintech menyediakan layanan paylater tanpa prosedur seleksi kredit yang ketat. Tidak sedikit pengguna yang menyetujui syarat dan ketentuan tanpa membacanya secara mendalam, termasuk konsekuensi keterlambatan, bunga yang dikenakan, hingga risiko gagal bayar yang bisa berujung pada penagihan agresif.
Ini menimbulkan situasi di mana paylater pada dasarnya adalah bentuk pinjaman (soft loan), namun tidak diposisikan atau diatur sebagai pinjaman formal.
Â
Celakanya, Pengawasan Masih Lemah
Sebagian layanan paylater memang telah terdaftar atau diawasi oleh OJK, namun tidak semuanya. Bahkan dalam praktiknya, pengawasan ini belum menyentuh secara menyeluruh aspek perlindungan konsumen dan kepatuhan standar pinjaman keuangan.