Sengketa wilayah maritim di Laut Natuna antara Indonesia dan Tiongkok menjadi sorotan penting dalam diskursus hukum laut internasional. Perselisihan ini berpangkal pada tumpang tindih antara klaim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, dan klaim historis Tiongkok yang dikenal sebagai nine-dash line.
Indonesia secara sah memiliki hak berdaulat atas ZEE sejauh 200 mil laut dari garis pantai sebagaimana diatur dalam UNCLOS. Namun, kehadiran kapal-kapal nelayan Tiongkok di perairan Natuna mengindikasikan bentuk pelanggaran terhadap yurisdiksi maritim Indonesia. Hal ini tidak hanya menimbulkan ketegangan diplomatik, tetapi juga ancaman terhadap ketahanan ekonomi dan keamanan nasional.
Putusan Mahkamah Arbitrase Internasional pada tahun 2016 dalam kasus Filipina vs Tiongkok secara eksplisit menyatakan bahwa klaim nine-dash line tidak memiliki landasan hukum. Meskipun demikian, Tiongkok tetap mempertahankan klaim tersebut, yang memperumit proses penyelesaian sengketa secara hukum.
UNCLOS sebagai Pilar Hukum Maritim
UNCLOS memberikan kerangka hukum yang tegas mengenai hak-hak maritim negara pantai, termasuk hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya di ZEE. Indonesia yang telah meratifikasi UNCLOS melalui UU No. 17 Tahun 1985 memiliki dasar legal yang kokoh untuk mempertahankan hak-haknya di Laut Natuna. Lebih dari sekadar aturan teknis, UNCLOS merepresentasikan kesepakatan komunitas internasional mengenai tata kelola laut yang adil dan sah.
Opsi Penyelesaian: Diplomasi atau Arbitrase?
Secara yuridis, terdapat beberapa jalur penyelesaian yang tersedia dalam UNCLOS, antara lain: arbitrase, konsiliasi, pengadilan internasional, hingga tribunal hukum laut (ITLOS). Namun dalam praktiknya, upaya litigasi terhadap Tiongkok menghadapi hambatan besar, mengingat negara tersebut menolak banyak mekanisme hukum internasional yang ada.
Sebagai alternatif, Indonesia dapat terus mengedepankan pendekatan diplomatik dan multilateral. Forum seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan pembentukan Code of Conduct (CoC) di Laut Cina Selatan dapat menjadi platform efektif untuk meredakan ketegangan dan mencari solusi jangka panjang yang berkelanjutan.
Implementasi Hukum Internasional di Level Nasional
Secara hukum nasional, Indonesia telah mengatur urusan maritim melalui berbagai regulasi, termasuk UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE, UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, serta peraturan pemerintah terkait pemanfaatan wilayah laut. Dalam konteks ini, perlu dilakukan harmonisasi dan sinergi antara aparat keamanan laut (TNI AL, Bakamla, KKP) dan kementerian luar negeri untuk memastikan perlindungan optimal atas wilayah yurisdiksi nasional.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI