Artikel ini mengeksplorasi sebuah paradoks modern yang mendalam: Gen Z, yang tumbuh di tengah genggaman teknologi dan memiliki kemampuan untuk terhubung dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun, justru melaporkan tingkat kesepian dan kecemasan yang tinggi. Mengapa koneksi yang tak terbatas ini tidak serta merta menghasilkan rasa memiliki? Dengan menggunakan lensa sosiologis dari para pemikir seperti Erving Goffman, Zygmunt Bauman, dan mile Durkheim, artikel ini akan mengupas akar masalah dari fenomena ini. Bukan untuk menyalahkan teknologi, melainkan untuk memahami bagaimana struktur sosial baru yang dibentuk oleh dunia digital mengubah cara kita memandang diri sendiri, orang lain, dan arti dari sebuah hubungan.
Pendahuluan: Pemandangan yang Tak Asing
Coba perhatikan sekeliling kita di kafe, transportasi umum, atau bahkan di ruang keluarga. Sebuah pemandangan yang kini lumrah: sekelompok orang duduk berdekatan, tetapi masing-masing asyik menatap layar ponsel mereka. Jari-jari mereka menari-nari, menggeser guliran tak berujung di Instagram, TikTok, atau Twitter. Mereka secara teknis "terhubung" ke jaringan global yang luas, tetapi secara fisik dan emosional, mereka terisolasi dalam gelembung digital masing-masing.
Inilah paradoks inti dari kehidupan sosial di abad ke-21. Kita memiliki lebih dari 500 "teman" di Facebook, mengikuti ratusan akun di Instagram, dan bisa berkomunikasi instan dengan seseorang di belahan dunia lain. Namun, survei demi survei, dari lembaga penelitian ternama hingga organisasi kesehatan global, menunjukkan angka yang memprihatinkan: kesepian telah menjadi "epidemi" diam-diam, terutama di kalangan anak muda.
Pertanyaannya bukan lagi apakah teknologi mengubah kita, melainkan bagaimana ia melakukannya. Untuk menjawabnya, kita perlu meninggalkan anggapan sepele bahwa "anak muda zaman sekarang hanya anti-sosial" dan mulai melihatnya sebagai sebuah fenomena sosial yang kompleks. Inilah tugas ilmu sosiologi: menggali yang tak terlihat di balik layar.
1. Panggung Digital dan Identitas yang Diperankan
Sosiolog legendaris, Erving Goffman, dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life, mengajukan sebuah ide sederhana namun brilian: kehidupan sosial itu seperti sebuah pertunjukan drama. Kita semua adalah aktor yang terus-menerus "bermain peran" di atas panggung (front stage) untuk menciptakan kesan tertama pada audiens kita. Di belakang panggung (back stage), kita bisa menjadi diri kita yang sebenarnya, tanpa topeng.
Sekarang, terapkan teori ini pada media sosial. Platform seperti Instagram dan TikTok adalah panggung digital yang sempurna. Setiap unggahan foto, setiap video singkat, adalah sebuah "performansi." Kita dengan cermat memilih sudut pandang terbaik, filter yang paling menarik, dan caption yang paling jenaka untuk membangun sebuah identitas yang diinginkan: hidup yang menyenangkan, penampilan yang selalu sempurna, dan kehidupan sosial yang selalu ramai.
Masalahnya, panggung digital ini tidak pernah tutup. Tekanan untuk terus "bermain peran" menjadi konstan. Kesenjangan antara "diri yang diperankan"Â di front stage dan "diri yang sejati" di back stage menjadi semakin lebar. Ini menciptakan bentuk alienasi yang baru: alienasi dari diri sendiri. Kita mulai merasa bahwa versi hidup yang kita tayangkan online lebih berharga daripada kehidupan nyata yang kacau dan tidak sempurna. Hasilnya? Perasaan kosong dan kelelahan emosional, karena kita terus-menerus berjuang untuk memenuhi standar yang kita ciptakan sendiri.
2. Koneksi "Cair" dalam Dunia yang Membutuhkan Ikatan "Padat"
Sosiolog Polandia, Zygmunt Bauman, memperkenalkan konsep "modernitas cair" (liquid modernity) untuk menggambarkan kondisi masyarakat kontemporer. Menurutnya, segala sesuatu dalam hidup kita, pekerjaan, hubungan, identitas, semakin tidak permanen dan mudah berubah, seperti cairan. Tidak ada lagi yang "padat" dan kokoh.
Dunia digital adalah perwujudan utama dari modernitas cair. Pertemanan menjadi sekadar "permintaan berteman" yang bisa diterima atau ditolak dengan sekali klik. Hubungan bisa dimulai dan diakhiri dengan mudahnya tanpa konsekuensi nyata. Kita mengumpulkan ratusan, bahkan ribuan, "koneksi" yang bersifat dangkal dan sementara. Ini adalah apa yang disebut modal sosial yang lemah (weak social ties).
Meskipun modal sosial yang lemah berguna untuk mendapatkan informasi baru atau peluang sesaat, namun kesejahteraan psikologis kita sangat bergantung pada modal sosial yang kuat (strong social ties)---hubungan yang mendalam, penuh kepercayaan, dan bersifat suportif dengan keluarga dan sahabat dekat. Fenomena "Generasi TikTok" menunjukkan bahwa kita mungkin sedang menukarkan ikatan yang kuat dan "padat" dengan ribuan koneksi yang lemah dan "cair." Kita merasa terhubung secara kuantitatif, tetapi miskin secara kualitatif. Inilah mengapa di tengah keramaian digital, kita bisa merasa paling sendirian.
3. Anomie di Dunia Maya: Ketika Aturan Main Tak Lagi Jelas
Kembali ke salah satu bapak sosiologi, mile Durkheim, yang mengidentifikasi sebuah kondisi bernama anomie. Anomie adalah keadaan "tanpa norma," di mana regulasi sosial menjadi lemah akibat perubahan yang terlalu cepat. Individu kehilangan pedoman tentang apa yang dianggap benar atau salah, tujuan yang harus dicapai, atau cara untuk merasa puas.
Dunia maya adalah sebuah perbatasan sosial yang liar dan baru. Aturan etiket, norma, dan hukum di dalamnya masih terus dibentuk dan seringkali kabur. Apa batasan antara candaan dan bullying? Kapan sebuah konten dianggap terlalu pribadi? Bagaimana cara kita mengukur kesuksesan? Di dunia digital, jawabannya seringkali berupa metrik yang dangkal: jumlah "like," "views," atau "followers."
Ini menciptakan anomie digital. Tujuan hidup yang seharusnya kompleks dan multidimensional (mencari kebahagiaan, kontribusi sosial, pertumbuhan pribadi) tereduksi menjadi sebuah perjuangan tanpa akhir untuk validasi online. Kita mengejar angka-angka tanpa tahu untuk apa, merasa puas sesaat ketika sebuah unggahan populer, lalu kembali merasa hampa dan cemas ketika perhatian itu beralih. Kondisi ini adalah sumber dari kecemasan dan depresi yang melanda banyak anak muda.