Di era di mana dunia ada di ujung jari, sebuah ironi menyentuh kita: Generasi Z, yang tumbuh dengan kemampuan terhubung kapan saja dan di mana saja, justru melaporkan tingkat kesepian dan kecemasan yang mengkhawatirkan. Mengapa koneksi yang tak terbatas ini tidak secara otomatis berujung pada rasa memiliki? Artikel ini akan mengupas fenomena ini menggunakan lensa sosiologi, khususnya teori fungsionalisme struktural, untuk memahami bagaimana struktur sosial baru di dunia digital mengubah cara kita memandang diri, orang lain, dan makna hubungan itu sendiri. Ini bukan tentang menyalahkan teknologi, melainkan memahami fungsi dan disfungsi yang dibawanya dalam kehidupan kita.
Pendahuluan: Pemandangan di Sekitar Kita
Coba lihat sekeliling. Di kafe, di kereta, atau bahkan saat kumpul keluarga. Pemandangan ini mungkin sudah terlalu biasa: sekelompok orang duduk berdekatan, tetapi masing-masing asyik dengan dunianya di balik layar ponsel. Jari mereka menari, menggesekkan guliran tak berujung di Instagram, TikTok, atau Twitter. Secara teknis, mereka "terhubung" ke jaringan global, tetapi secara fisik dan emosional, mereka terisolasi dalam gelembung digital masing-masing.
Inilah paradoks inti kehidupan sosial abad ke-21. Kita mungkin punya ratusan "teman" di Insagram dan bisa berkomunikasi instan dengan seseorang di belahan bumi lain. Namun, survei demi survei menunjukkan angka yang memprihatinkan: kesepian telah menjadi "epidemi" diam-diam, terutama di kalangan anak muda.
Pertanyaannya bukan lagi apakah teknologi mengubah kita, melainkan bagaimana ia melakukannya. Untuk menjawabnya, kita perlu melihat ini sebagai fenomena sosial yang kompleks. Tugas ilmu sosiologi, khususnya dengan pendekatan fungsionalisme, adalah menggali bagaimana struktur baru ini, dunia digital berfungsi bagi masyarakat dan, yang tak kalah penting, apa disfungsi atau dampak negatif yang tak terduga dari struktur tersebut.
1. Panggung Digital: Fungsi Validasi dan Disfungsi Alienasi
Sosiolog Erving Goffman mengibaratkan kehidupan sosial seperti sebuah pertunjukan drama. Kita adalah aktor yang memainkan peran di "panggung" (front stage) untuk menciptakan kesan tertentu, sementara di "belakang panggung" (back stage) kita bisa menjadi diri sendiri. Media sosial adalah panggung digital yang sempurna. Setiap unggahan adalah sebuah performansi. Kita dengan cermat memilih foto, filter, dan caption untuk membangun identitas yang diinginkan: hidup yang menyenangkan, penampilan sempurna, dan kehidupan sosial yang selalu ramai.
Dari perspektif fungsionalisme, performansi ini memiliki fungsi sosial: untuk mendapatkan pengakuan dan validasi dari komunitas kita, yang pada gilirannya memperkuat ikatan sosial (meskipun secara dangkal). Namun, di sinilah disfungsi-nya muncul. Panggung digital ini tidak pernah tutup. Tekanan untuk terus "bermain peran" menjadi konstan, menciptakan jarak yang lebar antara "diri yang diperankan" dan "diri yang sejati". Ini adalah bentuk alienasi baru: alienasi dari diri sendiri. Kita mulai merasa bahwa versi hidup online lebih berharga daripada kehidupan nyata yang kacau dan tidak sempurna. Hasilnya? Perasaan kosong dan kelelahan emosional karena kita terus-menerus berjuang memenuhi standar fiktif yang kita ciptakan sendiri.
2. Erosi Solidaritas: Dari Ikatan "Padat" ke Koneksi "Cair"
Salah satu bapak sosiologi, Émile Durkheim, mengkhawatirkan bahwa dalam masyarakat modern, individu akan kehilangan ikatan sosial yang kuat. Dia membedakan antara solidaritas mekanik (berdasarkan kesamaan) dan solidaritas organik (berdasarkan saling ketergantungan dalam masyarakat yang kompleks). Dunia digital, yang seharusnya memperkuat solidaritas organik, justru menciptakan masalah baru.
Zygmunt Bauman menyebut ini sebagai "modernitas cair", di mana segala sesuatu pekerjaan, hubungan, dan identitas menjadi tidak permanen. Dalam konteks fungsionalisme, kita bisa melihatnya sebagai pergeseran fungsi hubungan sosial. Pertemanan berubah menjadi "permintaan berteman" yang bisa dihapus dengan sekali klik. Kita mengumpulkan ribuan "koneksi" yang bersifat dangkal dan sementara. Ini adalah modal sosial yang lemah (weak social ties).
Meskipun modal sosial lemah memiliki fungsi untuk menyebarkan informasi dengan cepat, kesejahteraan psikologis kita sangat bergantung pada modal sosial yang kuat (strong social ties) hubungan mendalam dan suportif dengan keluarga serta sahabat dekat. Disfungsi mendasar dari "Generasi TikTok" adalah kita mungkin sedang menukarkan ikatan kuat yang "padat" dengan ribuan koneksi lemah yang "cair". Kita merasa terhubung secara kuantitatif, tetapi miskin secara kualitatif. Struktur sosial digital ini gagal menjalankan fungsinya untuk memberikan rasa aman dan kebersamaan yang sesungguhnya, yang pada akhirnya menumbuhkan rasa sepi di tengah keramaian.
3. Anomie Digital: Ketika Aturan Main Tak Lagi Jelas
Kembali ke Durkheim, konsepnya tentang anomie menjadi sangat relevan. Anomie adalah keadaan "tanpa norma," di mana regulasi sosial melemah akibat perubahan yang terlalu cepat. Individu kehilangan pedoman tentang apa yang benar atau salah, apa tujuan hidup, atau bagaimana cara merasa puas.
Dunia maya adalah perbatasan sosial yang liar. Aturan etiket dan norma di dalamnya masih kabur dan terus berubah. Apa batasan antara candaan dan perundungan (bullying)? Bagaimana kita mengukur kesuksesan? Di dunia digital, jawabannya seringkali adalah metrik yang dangkal: jumlah "like," "views," atau "followers."
Inilah puncak dari disfungsi struktural yang dibawa teknologi. Fungsi norma dalam masyarakat adalah memberikan stabilitas dan arah. Ketika norma ini menguap di dunia maya, terjadilah anomie digital. Tujuan hidup yang seharusnya kompleks (kebahagiaan, kontribusi, pertumbuhan pribadi) tereduksi menjadi perjuangan tanpa akhir untuk validasi online. Kita mengejar angka tanpa tahu untuk apa, merasa senang sesaat saat unggahan populer, lalu kembali hampa ketika perhatian itu beralih. Kondisi ini adalah sumber kecemasan dan depresi yang melanda banyak anak muda, sebuah tanda bahwa struktur sosial kita sedang mengalami disfungsi serius.