Mohon tunggu...
Danu Yanuar Saputra
Danu Yanuar Saputra Mohon Tunggu... Sarjana Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad, Magister Terapan Ilmu Pemerintahan Pascasarjana IPDN

Sebagai Pembelajar, Pembaca, Pemikir, dan Peneliti.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Kuala Lumpur Menjadi Poros Damai: Analisis Atas Doplomasi Senyap Malaysia di Konflik Thailand-Kamboja

12 Agustus 2025   09:08 Diperbarui: 12 Agustus 2025   09:08 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika Kuala Lumpur Menjadi Poros Damai: Analisis Atas Diplomasi Senyap Malaysia di Konflik Thailand--Kamboja"

Di sebuah kawasan yang kerap dirayapi sejarah perseteruan, Malaysia memutuskan untuk tidak sekadar menjadi penonton. Dalam pusaran konflik perbatasan Thailand--Kamboja, Putrajaya bergerak---bukan dengan dentang senjata, melainkan dengan ketenangan yang terukur. Mediasi ini, yang dipimpin langsung oleh Perdana Menteri Anwar Ibrahim, bukan hanya episode diplomasi regional; ia adalah pernyataan strategis tentang bagaimana sebuah middle power menulis ulang peta pengaruh di Asia Tenggara.

Dari kacamata realisme, langkah Malaysia adalah manuver kalkulatif: mengisi ruang yang ditinggalkan Indonesia sebagai primus inter pares, memproyeksikan pengaruh di ASEAN, dan memperkuat posisi tawar di hadapan kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat dan Tiongkok. Dalam logika kekuasaan, keberhasilan mediasi adalah kenaikan peringkat di papan catur geopolitik. Namun dari sudut pandang liberalisme, strategi ini justru selaras dengan etos liberal institutionalism: penyelesaian damai, pemanfaatan platform multilateral, dan penguatan norma regional. Malaysia memainkan peran honest broker, memastikan bahwa harmoni ASEAN tidak sekadar retorika di podium, tetapi praktik yang dihidupkan.

Keberhasilan ini sekaligus meneguhkan konsep middle power diplomacy. Bukan kapasitas militer yang menjadi modal utama, melainkan soft power: stabilitas domestik, kredibilitas ekonomi, dan jejaring personal pemimpin yang merentang lintas perbatasan. Dalam kerangka konstruktivisme, mediasi ini membentuk narasi baru---Malaysia sebagai "pemimpin pragmatis" yang efektif, bukan sekadar pengikut dalam arus besar kekuatan regional. Identitas ini, sekali terbentuk, menambah trust capital yang kelak dapat diinvestasikan pada isu-isu strategis lain.

Diplomasi yang dijalankan bersifat track one, langsung dari kepala pemerintahan ke kepala pemerintahan, menunjukkan komitmen tingkat tinggi yang jarang ditemui di banyak mediasi internasional. Pendekatan ini juga merupakan bentuk preventive diplomacy: mencegah konflik terbuka sebelum senjata berbicara. Kunci keberhasilannya terletak pada personalized diplomacy---sentuhan pribadi Anwar Ibrahim yang mengikis trust deficit, serta quiet diplomacy yang menghindari panggung megafon dan memberi ruang bagi lawan bicara untuk menyelamatkan muka (face-saving).

Pujian dari luar kawasan, termasuk apresiasi dari Presiden AS Donald Trump, memberi legitimasi internasional yang menambah bobot pencapaian ini. Momentum tersebut, bila dikelola cermat, dapat menggeser lanskap kepemimpinan ASEAN: bahwa dominasi diplomatik tidak lagi menjadi monopoli Jakarta. Model mediasi ini bahkan berpotensi menjadi cetak biru untuk isu lain---krisis Myanmar, sengketa Laut China Selatan, atau konflik sumber daya lintas batas.

Namun tantangan keberlanjutan tak bisa diabaikan. Middle power seperti Malaysia harus memastikan ini bukan sekadar peristiwa tunggal yang memudar, melainkan bagian dari strategi diplomasi jangka panjang. Keterbatasan sumber daya harus diimbangi dengan smart power---perpaduan kecanggihan teknis dan kekuatan persuasi. Di titik inilah keberhasilan sesungguhnya akan diukur: bukan pada jumlah pujian yang diterima, tetapi pada kemampuan mengulangi capaian serupa di panggung yang berbeda.

Dalam semua kerangka teori hubungan internasional yang kita gunakan---realisme, liberalisme, konstruktivisme---satu hal konsisten: diplomasi Malaysia dalam kasus ini menunjukkan bahwa kepemimpinan di Asia Tenggara tidak hanya ditentukan oleh ukuran atau kekuatan material, tetapi oleh kredibilitas, kemauan politik, dan keterampilan mengelola kepercayaan. Atau, seperti yang layak dijadikan mantra diplomasi dari Kuala Lumpur:

"Kekuatan bukan hanya soal besar, tapi soal dipercaya."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun