Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan dengan fenomena pengibaran bendera Jolly Roger bendera bajak laut dari anime One Piece di bawah Sang Saka Merah Putih. Reaksi pemerintah? Langsung keras. Bahkan, Menteri HAM Natalius Pigai menegaskan bahwa negara berhak melarang pengibaran bendera tersebut.
Lucunya, niat masyarakat yang mungkin awalnya sekadar ekspresi kreatif atau kritik sosial mendadak jadi heboh karena komentar pejabat. Sebenarnya, apa sih yang bikin reaksi pemerintah terasa lebay?
1. Reaksi negatif pemerintah menunjukkan alergi terhadap kritik
Pemerintah bereaksi keras, menyebut pengibaran bendera Jolly Roger sebagai makar. Kalau ditelaah, apakah mungkin simbol bendera bajak laut ini punya kekuatan untuk menggulingkan pemerintahan? Rasanya jauh banget. Reaksi seperti ini justru memberi kesan kalau pemerintah tidak siap menerima kritik, apalagi yang disampaikan dengan cara kreatif. Padahal, bulan Agustus mestinya jadi momen merefleksikan makna kemerdekaan dan kebebasan.
2. Pemerintah gagal membaca konteks budaya pop
Budaya pop adalah bahasa anak muda. Bendera Jolly Roger bukan ajakan makar, tapi simbol kebebasan, solidaritas, dan perlawanan terhadap ketidakadilan sesuai dengan yang diperjuangkan Luffy dan kru Topi Jerami. Mengibarkan bendera itu adalah cara publik menyampaikan keresahan mereka dengan medium yang mereka pahami. Kalau pemerintah buru-buru menganggapnya ancaman, sama saja meremehkan cara generasi sekarang mengekspresikan diri.
3. Ada bias dalam melihat simbol
Pemerintah melihat bendera Jolly Roger dari kacamata lama: bajak laut sama dengan kriminal atau ancaman. Padahal, buat penggemar One Piece, itu simbol keberanian menghadapi penguasa lalim. Jadi yang terjadi bukan "bendera vs negara," tapi "cara pandang lama vs cara pandang baru." Bukannya introspeksi, pemerintah malah sibuk bereaksi defensif.
4. Respons pemerintah malah bikin masalah ini membesar
Sebelum ada komentar pejabat, pengibaran bendera ini mungkin cuma dianggap tren lucu-kritis di kalangan netizen. Tapi setelah direspons keras, publik melihatnya sebagai tindakan represif yang menyinggung kebebasan berekspresi. Artinya, pemerintah malah memberi "panggung" buat isu ini jadi perdebatan nasional.