Kemarau panjang tak lekas menghilang. Memupuk kesedihan yang mendalam.Orang-orang berlalu lalang memikul bak mencari air. Sungai tandus tanpasegenang air. Kesediahan tak hanya dirasakan oleh masyarakat. Tahun ini adalahtahun kelima aku tinggal di pondok pesantren. Hidup dalam masyarakat kecil dariberbagai latar belakang. Saat kemarau datang kegelisahan mulai menjemput kami.Air kamar mandi sering mati, bahkan terkadang dari banyak keran yang ada, hanyasatu keran yang hidup. Tidak mandi beberapa hari sudah menjadi hal yang biasabagi kami. Jangankan untuk mandi, hal yang pernah aku alami adalah satu botolair minum ukuran besar aku bagi berdua dengan temanku untuk berwudhu.Â
November di ujung penantian, sore itu langit terlihat muram. Muramnyalangit adalah pertanda kebahagiaan bagi kami. Seperti biasa kegiatan pondokpesantren tetap berjalan. Beberapa hari yang lalu telah diadakan perombakankamar, dan aku mendapat kamar dibangunan baru. Atapnya telah berflavon,namun gentengnya masih disanggah beberapa bambu. Selepas pengajian Al-Qur'an ba'daMagrib, tiba-tiba langit menangis. Aku berdiri di balkon kamar mengadahkantanganku pada ribuan air hujan yang telah lama kurindukan. Tidak hanya aku,semua santri keluar kamar menjemput hujan dibulan November ini.
Hujanturun begitu deras, kami semua asyik bermain dengan air hujan. Mukenah yangmasih melekat di tubuh pun sedikit ikut basah, tak apalah pikirku. Hujan turundalam durasi yang tak lama. Dinginnyya udara memaksaku untuk kembali ke kamar.Setelah masuk kamar, setumpuk baju tergeletak di pojok lemari, berteduhdibawah karpet tidur. Teman-teman sibuk menyelamatkan buku yang ada di lokermereka. Ternyata air telah membanjiri kamar baruku.