Mohon tunggu...
Listhia H. Rahman
Listhia H. Rahman Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Ahli Gizi

Lecturer at Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Holistik ❤ Master of Public Health (Nutrition), Faculty of Medicine Public Health and Nursing (FKKMK), Universitas Gadjah Mada ❤ Bachelor of Nutrition Science, Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro ❤Kalau tidak membaca, bisa menulis apa ❤ listhiahr@gmail.com❤

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sensasi Kopi Darat di Kompasianival; Tidak Ada Pertemuan yang Kebetulan

23 Desember 2015   12:31 Diperbarui: 14 Agustus 2020   11:05 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompasianival ajang kopi darat  terbesar di Indonesia tahun ini sudah usai. Tetapi rasa-rasanya masih ada yang tertinggal. Ya, cerita yang menyertainya sayang jika hanya menjadi kenangan tanpa melahirkan tulisan. Tentu, kompasianival buat saya bukan hanya soal undangan dari istana, bukan juga soal salah stasiun saat berangkat atau ketinggalan kereta ketika pulang. Karena intinya justru belum tersentuh. Soal pertemuan yang menjadi tujuan utama acara ini. Pertemuan yang beraneka versi ekspresi dan hahahihi.

Yuk, Ngopi Darat..

Kopdar atau kopi darat itu apa sih sebenarnya? Apakah itu semacam ritual “Yuk ngopi di daratan (baca: suatu tempat)”? Jawabannya silakan  buka Buku “Kompasiana : Etalase Warga Biasa” Kang Pepih pada Bab 19 yaitu “Kopdar”, “Komunitas”, dan Aktifitas “Offline”. Btw, tulisan ini lahir akibat semalam membaca buku tersebut. Yang jelas, kopi darat bukan buaya darat lhoh, beda. Cuma sama-sama di darat, sih.

Awalnya istilah kopdar mengacu pada suatu ajang pertemuan dan silaturahmi di dunia nyata bagi para pengguna komunikasi udara yang memanfaatkan gelombang radio. Break,break,break ...sambil cari gelombang sampai ada yang ngebales. Karena zaman terus bergeser, makna kopdar makin luas dan bukan lagi untuk gelombang radio saja. Internet merubah semuanya. Dan tentu, bukan hanya melulu dengan secangkir kopi bisa juga disuguhi kata-kata, ngobrol doang.

Sebagai manusia , kita ini disebut manusia sosial. Sebuah hal yang kemudian tidak dapat kita pungkiri karena memang kita mempunyai naluri untuk saling bertemu,saling berkumpul dan “saling” lainnya dalam kehidupan. Saya pribadi pun mengiyakannya. Jujur, pada awalnya saya juga hanya sekedar tahu dan mengenal apa itu kopdar dan makin kesini ternyata saya harus terlibat dalam kata itu secara nyata.

Awal mengalami kopdar memang terasa lucu, agak aneh dan ada perbedaan yang ditemukan. Tapi secara emosional, ada kedekatan yang pasti dirasakan ketika kita bertemu di dunia nyata. Yakin deh soal ini. Pernah disuatu kopdaran, seseorang ada yang nyeletuk "Mbak, sudah lama kenal ya"

 "Emm , iyaa.. tapi kami baru ketemu hari ini, lho"

Dan ketagihan kopdar itu saya indikasikan gara-gara Kompasiana.

Ya, saya baru mengenal kompasiana -yang  sudah tujuh tahun didirikan- ini baru setahun , genap bulan oktober lalu. Enam tahun saat kompasiana sudah ada, saya masih asyik di dunia lain, di media lain semacam personal blog yang sekarang harus terpaksa ditinggalkan dengan mengenaskan, lupa password. Dan mungkin kelupaan itu memang sudah direncanakan untuk dipindahalihkan pada yang lain.

Terdampar di kompasiana yang membuat saya mengalami syndrome kecanduan menulis. Lagi-lagi saya harus mengiyakan untuk pernyataan di Buku Kang Pepih. “Siapapun ketika sudah menjadi bagian dari etalase warga itu, Keajaiban segera ditemukan dan didapatkan, setidak-tidaknya kecanduan menulis dan membaca serta berteman”. Saya : Absolutely , yes!

Kecanduan menulis sudah, ditambah kecanduan untuk kopdaran pun kena. Begitulah efek berkompasiana yang sungguh membuat tak berdaya. Tapi apa saya harus menyesalinya? Ya ndaklah, justru saya bersyukur dengan yang telah membuat candu itu semua. Mungkin jika saya setahun lalu tidak terdampar disini ,  tidak akan ada artikel ini dan artikel yang sudah hampir 150 itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun