Mohon tunggu...
Lis Liseh
Lis Liseh Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker/Pengajar

Apoteker dan Pengajar di Pesantren Nurul Qarnain Jember | Tertarik dengan isu kesehatan, pendidikan dan filsafat | PMII | Fatayat NU. https://www.facebook.com/lis.liseh https://www.instagram.com/lisliseh

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ideologi Sastra dan Moralitas Bahasa

30 September 2019   17:16 Diperbarui: 1 Oktober 2019   20:27 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buku(Thinkstock/Encrier) | Kompas.com

Membaca karya sastra sebenarnya adalah kesediaan membuka diri. Narasi dalam karya sastra merupakan cerminan ideologis pengarangnya. Maka saat kita membacanya, sebenarnya kita sedang dihadapkan pada dua pilihan: melakukan pemihakan atau perlawanan terhadap nilai-nilai yang sedang disodorkan pengarang ke hadapan pikiran kita.

Contohnya karya Pramoedya Ananta Toer, seperti Tetralogi Buru yang menawarkan ideologi kesadaran nasionalisme dengan penggambaran kekuatan kaum terpelajar dalam memulai pembaharuan.

Atau karya sastra yang banyak diminati generasi milenial saat ini, sebut saja Dee Lestari, mulai dari Serial Supernova hingga Aroma Karsa yang secara konsisten menjadi best seller dan menyumbang kontribusi positif pada kesusastraan modern Indonesia.

Begitulah kiranya, sastra tumbuh berkembang sebaya dengan zamannya. Ia menawarkan fenomena sosial dan geliat zaman dalam tiap larik alenianya, di samping menyusupkan ideologi pengarangnya di celah-celah konflik yang dibangun dalam cerita. Sehingga tak jarang pembaca yang terpikat oleh nilai yang dikandung dalam karya sastra yang dibacanya, akan ia peluk erat-erat sebagai prinsip hidupnya.

Buku adalah kumpulan doktrin yang dapat secara halus merasuki kedalam jiwa pembacanya. Maka, sastra dapat dijadikan senjata untuk menanamkan ideologi baru yang menyatakan kepentingan semua anak bangsa dan menjadi pengikat kohesi emosi serta cita-cita luhur bersama.

Terdapat empat langkah yang dapat diterapkan untuk membangun generasi milenial yang gemilang, yaitu;

Pertama, pemerintah daerah secara serius mendorong sastrawan untuk menggali kearifan lokal dan cerita rakyat untuk diramu menjadi karya sastra modern dan didistribusikan ke sekolah-sekolah sebagai upaya pemerintah menyiapkan generasi yang tetap memegang teguh nilai-nilai luhur kebudayaan Nusantara.

Maju dan berkembang tanpa meninggalkan akar kebudayaan, itulah ideologi nasionalis yang harus mengakar dalam kesadaran generasi milenial.

Kedua, keterjangakauan akses e-library yang memuat segala macam referensi aktual dan valid.

Digitalisasi karya sastra maupun karya ilmiah yang berkualitas akan mendorong peningkatan budaya literasi masyarakat, sehingga aktifitas nyinyir di media sosial atau asal berpendapat hingga menghujat pakar tidak lagi menjadi ironi, jangan sampai terjadi fenomena matinya kepakaran, dimana yang pakar malah dihina dan diabaikan penjelasannya.

Ketiga, guru pengampu mata pelajaran selain memberikan pengajaran keilmuan, harus pula rajin memberikan teladan kesalehan sosial. Mendidik sambil pula membimbing pembentukan karakter siswa yang saleh secara intelektual dan religius, sehingga tidak mudah terprovokasi.

Keempat, mendorong digalakkannya pusat kajian media digital dan penyebarluasan hasil riset sehingga mudah diakses oleh masyarakat dalam rangka menelaah profil sastra digital di Indonesia (Ombi, 2009).

Konstruksi Pengajaran Sastra Indonesia
Moralitas bahasa yang melekat pada setiap individu merupakan proses pembelajaran sejak dini. Maka, guru bahasa Indonesia kemudian dituntut tidak hanya mengusai materi ajar Bahasa Indonesia yang terdiri dari bahasa, sastra dan literasi.

Lebih dari itu, guru juga harus menguasai kemampuan dasar internet of thing sebagai bekal mengolah pembelajaran daring atau virtual learning dalam membuat media pembelajaran kreatif.

E-library adalah kebutuhan khusus virtual learning sebab pencarian referansi lewat hypertext (audio, video, animasi, jurnal dan e-book) dinilai lebih praktis dibanding harus ke perpustakaan dan mencari dari satu rak ke rak lainnya. Guru yang tak siap memperbaharui kompetensinya akan memandang ini sebagai ancaman, namun guru yang siap akan melihat ini sebagai peluang.

Pengajaran di ruang kelas harus mulai menggunakan prinsip tubuh revolusi 4.0, yaitu digitalisasi dan konektivitas, di samping tetap berbasis teks dan saintifik. Maka pengajaran secara daring akan menuntun pada teks-teks digital yang terkoneksi.

Bayangkan jika bersekolah tidak harus terkurung dalam ruang kelas dengan tumpukan buku paket, tapi dapat dilakuan di ruang-ruang maya baik secara telekonferen atau dalam grup-grup, bebas tanpa batas ruang dan waktu. Materinya tidak perlu lagi di tulis di papan, cukup mengunduh berkas dan dipelajari secara virtual. 

Maka kelimpahan hypertext menjadi berkah tersendiri bagi kemajuan pembelajaran. Dengan kata lain, virtual learning adalah pembelajaran secara daring agar dapat terkoneksi dengan segala teks digital dengan pendekatan saintifik.

Dalam satu titik, kelas konvensional yang mengharuskan murid dan guru bertatap muka akan mengurangi kontak sosial secara langsung. Sehingga pembelajaran hybrid antara kelas konvensional dan virtual learning dapat pula menjadi solusi.

Dimana bagi orangtua atau guru tidak perlu khawatir siswa akan kehilangan aktivitas sosial untuk berkomunikasi dengan teman sekelas dan civitas lembaga pendidikan sambil pula sistem pembelajaran dalam kelas menggunakan media pembelajaran kreatif yang bisa dibuat dengan siswa diperbolehkan menggunakan gawai saat di kelas.

Guru dapat memantik siswa dengan mencari topik yang sedang trending lalu membandingkan beberapa laman terkait topik untuk di bahas bersama baik dan buruk, tantangan dan solusi maupun sudut pandang lain yang dianggap relevan.

Siswa juga harus dituntun mencari referensi yang valid dalam rimba informasi dunia maya, sebab tidak semua situs dapat dipertanggungjawabkan kevalidan datanya. Maka, gempuran revolusi 4.0 tidak akan menjadi momok bagi keberlangsungan pembelajaran Bahasa Indonesia, melainkan bersanding harmonis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun