Mohon tunggu...
Lisa Noor Humaidah
Lisa Noor Humaidah Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat buku dan tulisan

Tertarik pada ilmu sosial, sejarah, sastra dan cerita kehidupan. Bisa juga dijumpai di https://lisanoorhumaidah.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"The Social Dilemma", Dilema Kita Semua

20 September 2020   16:42 Diperbarui: 21 September 2020   04:23 1030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Social Dilemma. Sumber: metro.co.uk

Selain menampilkan fakta, dan argumen dari para pelaku, film ini mengilustrasikan dengan cerita bagaimana media sosial bekerja, mempengaruhi dan mengubah para penggunanya.

Menciptakan perasaan yang palsu
DR. Anna Lembke, Stanford Uni School of Medicine Medical Director of Addiction Medicine mengatakan memang media sosial itu seperti obat. Terhubung dengan orang lain membuat ada pelepasan dopamine, sebuah bentuk reward/penghargaan juga untuk diri sendiri. 

Ini bagian dari evolusi jutaan tahun pada sebuah sistem untuk kita hidup di komunitas, menemukan teman, dan mempengaruhi yang lain juga. Maka tidak diragukan lagi, sosial media seperti kendaraan untuk mengoptimalkan koneksi antar manusia. Dan sudah pasti ada potensi besar untuk kecanduan.

Namun demikian, menurut Chamath Palihapitiya, mantan vice president FB untuk Growth tanpa disadari, kita membentuk hidup kita pada sebuah perasaan kesempurnaan karena kita mendapatkan reward dalam bentuk emoticon hati, likes (jempol) dan kita menggabungkan semua perasaan tersebut dengan nilai, dengan kebenaran. 

Padahal jelas, ini adalah kepalsuan. Mungkin seharusnya bersifat sesaat tapi kemudian sebentar kemudian kita merasa perlu melakukannya lagi. Lalu kita posting kembali untuk mendapatkan reward tersebut. Seperti lingkaran setan. Berputar kembali seperti itu. Dan memang itulah tujuannya agar kita berlama-lama menghabiskan waktu di depan layar/gadget kita.

Pada mulanya, pilihan emoticon seperti like dan yang lainnya bertujuan positif untuk menyebarkan dan mendukung hal-hal yang baik. Namun pada kenyatannya yang terjadi cenderung melenceng jauh.

Alarm bahaya bagi anak-anak
Sosial media tidak didesin untuk psychologi anak yang bertujuan untuk melindungi dan memelihara, memastikan pertumbuhan emosi sesuai usianya. 

Sosial media didesain untuk membuat algoritma yang kemudian dengan sangat baik menyarankan video, termasuk untuk mengambil foto/gambar lengkap dengan filternya. Sosial media mulai masuk semakin dalam pada jaringan sistem otak lalu merampas jati diri anak-anak, sasarannya pada identitas dan kepercayaan diri.

Film ini menyajikan data yang membuat miris.

Jonathan Haidt, PhD, NYU  Stern School of Business Social Psychologist dan juga penulis buku The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politics and Religion menyebutkan angka yang sangat besar remaja di Amerika mengalami depresi dan kecemasan dalam kurun antara tahun 2011 dan 2013. 

Ada 100 ribu remaja perempuan yang dibawa ke Rumah Sakit karena melukai dan membahayakan dirinya. Angkanya naik 62 persen dari tahun sebelumnya untuk teen girls (usia 13-19 tahun). Untuk preteen girls (usia 10-12 tahun) naik sampai 189 persen. Lebih menakutkan lagi jika dilihat kaitannya dengan angka bunuh diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun